Langsung ke konten utama

Perjuangan Ibu yang Berkarier (Majalah Kartini)



Menjadi wanita karier dan ibu rumah tangga sekaligus adalah cita-citaku. Kadang dalam perjalanannya, hidup tak selalu sesuai yang aku angankan. Cita-citaku memang terlaksana, namun membutuhkan perjuangan yang lebih berat.

Menjelang usai cuti melahirkan, pengasuh anakku meminta pulang. Tentu saja aku bingung kepada siapa kutitipkan putriku. Sementara tekadku sangat kuat untuk tetap bekerja. Bukan bermaksud menomorduakan anak, namun aku merenungi bahwa akan lebih baik jika aku bekerja sehingga tidak jenuh di rumah. Aku ingin ada kerinduan antara aku dan anakku sehingga saat pertemuan terasa lebih indah.

Untungnya dari informasi seorang teman kutemukan Tempat Penitipan Anak (daycare) yang mau menerima bayi. Kebetulan lokasinya dekat kantor sehingga mudah bagiku menjenguk anak pada jam istirahat. Setelah melakukan survei dan yakin pada komitmen para pengasuhnya, akhirnya aku menitipkan anakku ketika usianya beranjak 3 bulan.

Mungkin terlalu muda anakku berjuang. Kami memulai hal baru yang sangat menyibukkan. Sebenarnya hati aku tidak tega ketika pagi-pagi harus membangunkan bayiku yang sedang menikmati tidur dalam selimut hangat. Namun itu kulakukan agar kami tidak ketingalan bis jemputan karyawan yang lebih aman. Dengan bis jemputan perjalanan juga lebih mudah, tidak seperti naik kendaraan umum harus ganti sebanyak 3 kali. Maka, dengan ransel dipunggung, dan sebuah tas jinjing berisi perlengkapan bayi, aku menggendong bayiku menuju tempat menunggu bis.

Baik supir dan para penumpang lainnya sangat baik kepada kami. Mereka selalu menyediakan kursi untukku. Tidak jarang ada yang membawakan barang bawaanku ketika naik dan turun bis. Dan semakin anakku besar, dia semakin akrab dengan para penumpang, juga hapal nama-nama mereka. Disinilah kuajarkan untuk selalu berterimakasih kepada siapa saja yang telah menolong. Manakala bis penuh, kuberi pengertian pada anakku untuk mau berbagi kursi.Kebersamaan kami dengan sesama penumpang bis terasa sangat indah.

Meskipun sesekali omongan miring kudengar, aku berusaha untuk tidak berburuk sangka. Ada yang mengatakan aku demikian tega membawa bayi keluar rumah. Sebagian lagi memeperingatkan ku tentang bahaya angin luar untuk bayi. Aku mencoba menerima omongan itu sebagai suatu nasehat. Dalam hati aku bertekad menjaga anakku sebaik mungkin. Pernah beberapa kali anakku sakit. Disaat seperti itu, muncul rasa bersalah dalam hatiku. Ingin rasanya aku berhenti bekerja untuk menebus semua ini. Namun ketika anakku sembuh, semangatku muncul lagi. Yang namanya sakit tidak dapat dihindari meski dirumah sekalipun, pikirku.

Situasi ini tidak berlangsung lama. Semakin anakku besar, daya tahannya makin baik. Salah satu hal yang membuatku berbahagia adalah ketika anakku sudah bisa bicara dan mulai senang menceritakan teman-temannya. Rupanya, meskipun anak-anak sering berantem, tetapi mereka cepat melupakan dan kembali berbaikan. Lebih banyak keceriaan yang didapatkan bersama teman-temannya. Disana anakku belajar berlaku sopan, berlaku baik, berkawan dan mandiri.

Tak terasa, bekerja dan menitipkan anak setiap hari ke Tempat Penitipan telah kujalani selama 3.5 tahun. Sudah selama itu pula anakku bergaul dengan bapak-ibu di Bis Jemputan. Anakku menganggap mereka sebagai teman, bertegur sapa, berbicara dan bercanda serta hapal satu persatu nama mereka. Aku bangga dan berterimakasih, begitu sayangnya bapak-ibu sesama penumpang ini kepada putri kecilku.

Dari balik kaca jendela Bis, anakku telah melihat dunia luar dengan segala warnanya : keramaian di jalan, rumah bagus dan kumuh, dan pepohonan dengan sarang laba-laba diantaranya. Semua yang dilihatnya menjadi sumber ilmu baginya. Tak henti-hentinya keluar pertanyaan dari mulut kecilnya. Ketika di lampu merah putriku melihat anak kecil mengamen, dia bertanya mengapa supir bis mengulurkan sekeping logam 500 rupiah pada anak kecil itu dan mengapa anak itu berada di jalan, mengapa tidak sekolah?

Diusianya yang masih muda, putriku telah ikut ”berjuang” bersamaku. Dibalik semua perjuangan itu, dia banyak belajar. Terpaan angin dan hujan telah membuatnya kuat. Dan setelah segala perasaan bersalah, bangga dan haru yang becampur aduk, kami menemukan keceriaan dan kebersamaan. Dibalik kerepotan tanpa pembantu rumah tangga, aku, suami dan anak justru menemukan kebersamaan yang menyenangkan.

Kami merasa dekat manakala bersama-sama membereskan rumah di akhir pekan. Anakku pun senang terlibat dalam urusan beres-beres rumah. Dia membantu sekedarnya sambil bermain. Ikatan batin antara kau dan anakku sangat dekat. Selain ke kantor, aku selalu membawa anakku kemana saja, misalnya bertamu atau berbelanja. Setiap orang mempunyai pilihan. Semoga, jalan yang aku pilih ini adalah yang terbaik untuk kami. Tak henti-hentinya aku mensyukuri kekuatan yang diberikan pada aku dan anakku, serta hikmah dan kebahagiaan sesudah kesulitan itu.

(Majalah Kartini, 23 Juli 2009)

Komentar