Memandang Dari Dua Sisi Mempermudah Komunikasi
Tentang saya
Saya seorang wanita yang bekerja. Saya telah 7 tahun menikah dan dikaruniai anak. Manakala terjadi perbedaan pendapat, saya cenderung mengungkapkan secara tidak langsung dengan bahasa sindiran, berharap suami mengerti tanpa saya jelaskan.
Tentang pasangan
Sebaliknya, suami adalah sosok yang apa adanya. Suami tidak mudah mengerti dengan bahasa sindiran dan lebih suka bicara langsung.
Bagaimana berkomunikasi dengannya
Tidak mudah menyatukan pendapat dari dua kepala yang berasal dari satu keluarga kandung, apalagi menyatukan pendapat antara suami-istri yang sudah jelas berasal dari dua keluarga berbeda. Bahkan kadang-kadang untuk satu tujuan yang sama, antara suami-istri masih harus melalui perdebatan yang timbul karena perbedaan gaya berkomunikasi dan kesalahpahaman.
Saya dan suami mempunyai gaya berkomunikasi yang berbeda. Meskipun suami lebih suka saya bicara langsung, tetapi bukan berarti tidak akan terjadi perdebatan diantara kami. Masing-masing kami cenderung mempunyai sifat defensive (bertahan) jika merasa disalahkan. Nah, situasi yang kadang memanas ini justru membuat saya semakin berhati-hati memilih kata, dan buruknya, semakin suami tidak cepat mengerti. Ini menjadi lingkaran setan yang tiada ujung pangkalnya.
Akhirnya saya mencoba memandang suatu permasalahan dari sudut pandang suami. Saya mencoba mengerti alasannya dan jalan pikirannya. Pemilihan waktu yang tepat untuk berkomunikasi juga sangat penting. Saat-saat kita nyaman untuk berbicara adalah saat masing-masing kita sudah merasa rileks, usai melepas kepenatan pekerjaan kantor. Biasanya sore setelah mandi sambil menikmati teh dan pisang goreng, saat makan malam, menjelang tidur, atau saat liburan akhir pekan . Kini frekuensi perselisihan kami jauh berkurang. Sekarang kami merasa bisa lebih sering bicara dan lebih terbuka. Kunci yang selalu kami pegang adalah tidak langsung menyalahkan pasangan, mencoba mencari tahu alasan dan jalan pikiran pasangan sehingga bisa memandang suatu permasalahan dari kedua sisi.
Jika situasi perdebatan memanas, biasanya kami melakukan break (berhenti sejenak), tidak melanjutkan pembicaraan, membawa dalam perenungan masing-masing dan kemudian kami bicarakan kembali saat sudah siap. Saat jeda inipun bukan berarti kami saling diam karena jika sempat terjadi situasi diam, biasanya akan sulit mencairkannya kembali. Saat break kami akan mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lain yang lebih ringan dan tidak menyinggung salah satu diantara kami, misalnya cerita masalah kantor atau kegiatan anak di sekolah hari ini. Kadang-kadang pembicaraan kami disela oleh celoteh ceria putri kecil kami. Hal ini sangat membantu menjaga suasana tetap nyaman. Problem komunikasi
Salah satu contoh adalah masalah pengelolaan keuangan keluarga. Kami sama-sama bekerja, dan penghasilan suami lebih besar. Kami berbeda pendapat dalam memandang prioritas kebutuhan, Saya merasa suami sering membeli gadget elektronik yang harganya tidak murah yang menurut saya sebaiknya uang tersebut ditabung. Sebaliknya, suami merasa saya boros dalam pengeluaran harian dan sering membeli perlengkapan fashion. Kami sempat tidak menemukan titik temu. Saya pernah mengajaknya menghitung bersama dan merencanakan anggaran rumah tangga kami, tapi rupanya suami kurang suka melihat angka-angka yang menurutnya memusingkan. Karena sulit mencari titik temu, baik saya dan suami enggan membicarakannya lagi. Kami berjalan sendiri-sendiri dengan kebiasaan pengelolaan keuangan seperti sebelumnya.
Saya merasa kondisi begini tidak sehat. Saya mencoba intropeksi diri. Apakah yang saya tidak ingin suami lakukan, juga telah saya tinggalkan? Setelah saya merenung, ternyata saya pun memiliki hobi berbelanja juga. Hanya saja apa yang dibeli suami dan saya berbeda jenisnya. Suami membeli gadget sesekali tapi mahal, sedangkan saya membeli fashion yang lebih murah tapi sering. Dihitung-hitung sama saja besarnya.
Saya pun mencoba bertanya ke diri sendiri, apakah saya akan rela jika hobi saya ini dilarang? Seberapa saya bisa menahan diri untuk tidak berbelanja? Mungkin itulah yang dirasakan suami. Dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda, akhirnya saya menyadari bahwa masing-masing kami punya hobby yang serupa. Saya pun ingin menabung, mungkin suami juga berkeinginan sama. Kadang saya merasa bersalah setelah berbelanja, mungkin suami juga. Akhirnya saya lakukan pembenahan diri sendiri, dan berharap suami merasakan perubahan saya ini. Saya mulai mengurangi berbelanja.
Dan benar saja, ternyata suami memperhatikan perubahan saya. Diapun terlihat mulai mengurangi hobinya. Sementara saya tidak pernah melarangnya lagi, melainkan ikut berdiskusi tentang gadget yang dibelinya. Suami merasa tidak perlu sembunyi-sembunyi membeli gadget, bahkan dia sering meminta pendapat saya mengenai harganya. Saya memberinya masukan gadget mana yang lebih bermanfaat dengan harga yang lebih murah. Seringkali muncul sendiri kesadaran suami dan urung membeli gadget. Hal sebaliknya, suami juga tidak langsung melarang saya berbelanja fashion. Dia hanya mengingatkan untuk lebih bijaksana menggunakan uang. Suami bahkan mendukung jika saya membeli barang karena memang diperlukan.
Dengan keberhasilan-keberhasilan komunikasi yang kami lakukan, kami merasa semakin dekat dan mesra. Kami semakin mengenal satu sama lain dan bisa menyelami pikiran masing-masing.
Komentar
Posting Komentar