Oleh : Murtiyarini
Koran Republika, 26 Juli 2012
Bangsa ini sedang kebanjiran produk impor. Merebaknya pusat perbelanjaan berbagai level seharusnya menjadi etalase produk dalam negeri justru dibanjiri oleh produk-produk impor. Selain impor produk siap pakai, ada juga impor bahan baku (pengolahan di dalam negeri), atau bahkan impor nama saja. Yang terakhir ini terjadi pada produk yang 100% produk dalam negeri, namun tidak cukup percaya diri dengan nama lokal, maka dinamai dengan nama impor. Konsumen berhak memilih produk berkualitas. Ketika sebuah produk lokal berkualitas ditawarkan, dan tidak serta merta konsumen memilihnya maka tim marketing merasa perlu memberi merk asing pada produk lokal tersebut. Dalam kasus ini menunjukkan bahwa gengsi ikut berperan dan adanya krisis kepercayaan pada produk lokal.
Masyarakat membeli produk impor bukan berarti karena mereka membutuhkan produk impor. Masalahnya, manakala produk impor didampingkan dengan produk lokal di pasar, yang terjadi kemudian adalah masyarakat lebih memilih produk impor. Membanjirnya produk impor diperjelas dengan banyaknya bisnis distribusi seperti multi level marketing dan franchise, bukan pada sektor produksi. Disini tampaknya perlu ditinjau ulang masalah regulasi masuknya produk-produk impor ke Indonesia. Kemudian perlu dilakukan kampanye terstruktur agar masyarakat lebih mencintai produk dalam negeri.
Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi alam agraris yang sangat potensial dan membanggakan. Namun kenyataan saat ini, negara sedang mengalami degradasi produktivitas dan kualitas pertanian. Di tahun 70-an, produktivitas pertanian mencapai 2,4% setiap tahun, namun sejak tahun 90-an hingga kini produktivitas justru anjlok menjadi 0,6% padahal anggaran pertanian terus meningkat. Tahun 2011, produksi gabah kering giling hanya mencapai 65,39 juta ton dan lebih rendah 1,63% dibandingkan tahun 2010. Hal serupa juga terjadi pada jagung dan kedelai. Sebaliknya, impor pangan selalu meningkat. Berdasarkan data BPS selama Januari-Juni 2011, nilai impor 28 komoditi pangan Indonesia menembus 5,36 miliar dolar atau setara dengan Rp 45 triliun.
Turunnya produktivitas pertanian ditengarai akibat faktor iklim, degradasi kesuburan tanah, pemakaian zat agrokimia dalam waktu panjang, kurangnya riset di bidang pertanian, kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya ketersediaan bibit bersertifikasi, alih fungsi lahan, dan kurangnya penyuluh. Padahal, sebenarnya faktor penting dan krusial penurunan produktivitas pertanian justru pada mental konsumtif yang semakin meningkat, diiringi dengan keputus-asaan petani dan turunnya budaya produktif masyarakat.
Mengembalikan orientasi
Walaupun tidak semua pihak bisa turun tangan pada titik produksi dalam arti yang sebenarnya, diperlukan dukungan banyak pihak untuk mengurangi watak konsumtif dan mendorong bangsa ini kearah budaya produktif dengan memegang prinsip dasar produktivitas, yaitu efesiensi, efektifitas, kualitas dan inovasi dari proses produksi.
Kita banyak berharap pada jalur pendidikan, terutama pendidikan tinggi sebagai motor kebangkitan budaya produktif. Di bidang pertanian, program-program pendidikan seharusnya mampu membekali jiwa mahasiswa sehingga orientasi pendidikan mengarah pada kekaryaan.
Fenomena yang terjadi saat ini sarjana pertanian lebih banyak bekerja pada sektor sosial sehingga menimbulkan pencitraan yang kurang baik. Menurut asumsi dikti, sarjana atau ahli madya pertanian, perikanan dan peternakan, 85% justru bekerja menjadi sales, guru, bank atau marketing perusahaan. Disini terjadi disorientasi pendidikan, bahwa pendidikan tinggi pertanian hanya sebagai batu loncatan untuk meraih jenjang karir. Penting untuk ditumbuhkan kesadaran pada setiap mahasiswa bahwa pertanian merupakan sektor yang menjanjikan bagi masa depan diri sendiri maupun bangsa, bukan sekedar brandimage bahwa pertanian adalah sebatas aktivitas menanam padi.
Perguruan tinggi sesungguhnya mempunyai potensi riset yang dapat diandalkan. Pertanyaannya, seberapa banyak sarjana pertanian bisa mengoptimalkan fungsi riset untuk mengembangkan pertanian di Indonesia. Dikti telah merangsang mahasiswa kearah yang kreatif dan produktif, melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Program ini diharapkan mampu membangkitkan jiwa wirausaha dengan potensi riset yang telah ada. Produktifitas yang didukung kebijakan perguruan tinggi dan pemerintah yang visioner akan menempatkan sarjana sebagai sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing secara global.
Pembangunan pertanian akan terwujud secara komprehensif jika semua aset intelektual berkontribusi di bidangnya masing-masing. Bidang politik dan pemerintahan berperan sebagai pengambil keputusan yang dapat menentukan prioritas kebijakan pertanian, bidang hukum mengatur ketentuan-ketentuan hukum pertanian, bidang pendidikan bertugas memacu semangat produktif peserta didik, bidang pekerjaan umum menyediakan infrastruktur yang memadai untuk proses produksi dan distribusi pertanian, bidang kesehatan melakukan inovasi pangan dan kaitannya dengan kesehatan, serta bidang-bidang yang lain.
Kata kunci pembangunan pertanian adalah produktivitas. Posisi negara produsen adalah yang terkuat dalam menguasai perhelatan dunia, lebih kuat daripada hanya sebagai negara penjual jasa distribusi, apalagi hanya sebagai negara konsumen. Oleh karena itu sudah selayaknya, produktivitas dijadikan sebagai budaya bangsa dan dikampanyekan dalam bentuk gerakan nasional, yang dapat dimulai dari lingkungan pendidikan tinggi. Kita berharap, sarjana pertanian yang produktif akan membawa semangat produktif pada masyarakat. Jika optimisme ini dapat dibangkitkan, maka budaya produktif akan tumbuh kembali. Dengan demikian, tidak ada ironisme bangsa agraris yang menggantungkan kebutuhan pangan pada pangan impor.
Komentar
Posting Komentar