Langsung ke konten utama

Breastfeeding, A Family Beautiful Moment

Menyusui, adalah momen indah yang melibatkan saya, anak, dan suami. Menyusui menjadi cara kami memuaskan rindu dan berbagi kasih…. Dan ASI adalah bentuk curahan kasih dari saya dan suami untuk bekal anak-anak di sepanjang kehidupan mereka.

Momen IndahMenyusui bukan saja atas permintaan bayi, tapi juga atas keinginan ibu, serta dukungan kuat dari suami. Bayi saya minta disusui saat lapar, haus, butuh rasa aman dan nyaman. Sementara saya menawarkan ASI saat produksi ASI melimpah dan perlu segera dikeluarkan. Atau saat ingin ingin bercengkerama dengan si bayi, saya tarik dia dalam pelukan dan memintanya menyusu. Sambil menyusui itulah, segala pikiran, hati dan fisik kami bertaut. Saling memandang, saling mengusap. Suami senang sekali melihat adegan mesra antara saya dan sang bayi. Sering kali suamilah yang meminta saya untuk menyusui. Dengan kesadaran penuh akan manfaat ASI, saya dan suami telah menciptakan “breasfeeding family” di rumah kami.


Sekitar 32 tahun silam, seorang anak berumur 2 tahun menyusu pada ibunya, sementara sebelah tangannya menyelusup kedalam baju sang ibu, meraba-raba meraih kehangatan. Mereka saling bertatap mata dan sebuah senyum mengembang dari sang ibu yang menurut si anak adalah wanita tercantik di dunia.

Saya masih mengingat peristiwa itu. Betapa menyusu pada ibu menjadi kenangan indah sepanjang masa. Rasa aman dan nyaman yang mengantarkan saya pada kemantangan emosional saat ini. Saya bangga menjadi anak ASI. Saya pun bertekad ingin memberi ASI untuk anak-anak kami, serta membimbing mereka untuk melanjutkan generasi ASI.

Menyusu Lama

Sejarah pemberian ASI yang relatif lama oleh Ibu (saya menyusu selama 5 tahun dan abang 6 tahun), nyatanya telah mematahkan mitos bahwa menyusui terlalu lama akan membuat anak manja. Saya pernah membaca, konon orang China menyusui anak-anaknya selama 5 tahun untuk membentuk bonding yang erat antara Ibu dan anak. Rasul pun menganjurkan kita menyusui setidaknya selama 2 tahun. Saya mengartikannya lebih dari 2 tahun tidak dilarang. Jadi selama tidak ada hambatan menyusui, terutama larangan medis, kenapa tidak terus menyusui hingga si anak dan ibu puas ?

Nyatanya, saya berhasil menyusui anak pertama saya, Cinta, selama 4,5 tahun. Tentu dengan pasang surutnya produksi ASI. Akhirnya Cinta dengan kesadaran sendiri tanpa derai air mata, bersedia melepaskan ASI untuk adiknya yang saat itu masih berusia 7 bulan dalam kandungan. Ternyata saya yang bersikap lebih melankolis, menangisi pisah menyusui dengan Cinta. Oh, Nak, menyusuimu akan menjadi kenangan indah ibu sepanjang masa. Momen indah itu kembali saya rasakan ketika menyusui anak kedua, Asaku Mulia (sekarang 2 tahun). Hal-hal yang menjadi kendala ketika menyusui Cinta dapat saya perbaiki pada saat menyusui Asaku.

Saya sempat terjebak dalam baby blues, cekaman mitos, tekanan lingkungan, kelelahan dan kurang nutrisi pada saat menyusui Cinta. Beberapa kali ASI surut, dan kalaupun ASI sedang lancar, namun saya tidak yakin nutrisinya cukup. Akibatnya, masa kecil Cinta agak sering terserang batuk pilek. Untung saya segera menyadari ini dan memperbaiki kualitas ASI untuk Cinta. Kesehatan Cinta pun membaik, dan ASI terus saya berikan sampai Cinta berusia 4,5 tahun. Pengalaman menjadi pelajaran untuk memaksimalkan produksi dan kualitas ASI pada saat menyusui Asaku. Daya tahan Asaku lebih baik, jarang sekali sakit dan lebih aktif.

Breasfeeding family

Nyaris saya tidak merasa perlu berkeluh kesah dengan segala kesulitan pemberian ASI. Produksi yang surut, payudara bengkak, gigitan anak, pinggang pegal karena harus menyusui sepanjang malam… semua itu tak berarti apa-apa dibanding apa yang kami dapatkan. Saya menciptakan pola pikir pribadi bahwa “Saya bahagia dan bisa menyusui” sehingga dalam kondisi tekanan lingkungan, ASI saya tetap lancar.

Saya akan mengingat tingkah lucu anak-anak saat menyusui. Asaku punya posisi favorit menyusu sambil menungging pantatnya. Sementara Cinta lebih suka menyusu sambil miring dengan posisi saling terbalik 69. Keduanya mempunyai kesamaan, tangannya sambil menarik-narik puting payudara satunya.

Sebutan untuk minta ASI juga unik, Cinta menyebut payudara dengan “Mimo” sedangkan Asaku dengan istilah “Nenen” . Keduanya suka menyusu sepanjang malam, menempel di dada saya sampai pinggang saya pegal. Setelah selesai Cinta dan saya langsung berbalik badan saling memunggungi, mungkin karena kami sama-sama pegal. Asaku beda lagi, setiap kali saya mau menarik puting, dia meraihnya dengan keras menggunakan kuku-kukunya, dan saya akan berada dalam mulutnya sampai pagi.

Kasur king size milik kami adalah saksi bagaimana kami berempat (saya, suami, Cinta dan Asaku) bercengkerama sambil saya menyusui Asaku. Sebagai kakak, Cinta pun sangat mendukung adiknya untuk menyusu. Kadang-kadang sikapnya lucu bagai orang dewasa, berlagak menasihati saya untuk banyak makan agar ASI lancar. Dengan polosnya si kakak melarang adiknya menggigit puting payudara, sementara si adik tetap asyik menyusu. Suami memberikan dukungan penuh. Suami bersedia membantu pekerjaan rumah tangga, bahkan tidak membiarkan saya capek bekerja. Pijatan dan segelas teh manis buatan suami sungguh sangat berarti dan membuat saya tersanjung. Perhatian sekecil apa pun akan berbuah pada derasnya produksi ASI.

Keindahan yang akan kuwariskan

Kebahagiaan menyusui sungguh membuat saya ingin menyusui lagi… lagi dan lagi. Pengalaman menyusui akan menjadi pengalaman indah yang saya wariskan pada anak-anak. Kelak anak-anak dewasa, akan saya wariskan juga ilmu-ilmu menyusui pada jaman ini untuk bekal pertimbangan teknik menyusui di masa depan. Saya yakin, manfaat ASI untuk ibu dan anak tak akan terbantahkan sepanjang zaman.

Cintaku, kelak jadilah ibu yang menyusui untuk anak-anakmu, dan Asaku, jadilah breastfeeding father yang memberikan dukungan penuh pada istri untuk menyusui.



Tulisan ini juga ditayangkan di situs theurbanmama.com 




Komentar