Langsung ke konten utama

Positive Parenting, Happy Family


Pernah dengar istilah positive parenting ?

Apa ya artinya?
Tentunya, pengasuhan yang positif artinya dalam bahasa Indonesia :)

Saya banyak membaca dari berbagai sumber.

Dalam buku Positive Parenting karya Diana Loomans, penulis dan jurnalis dalam bidang potensi manusia, "Positive parenting adalah pola asuh yang menghargai sudut pandang anak. Menurutnya, ada 12 pola pengasuhan, antara lain: memberi teladan, meluangkan waktu berkualitas, mendengarkan, berbagi kasih sayang, menghargai, disiplin positif, memberi ruang tumbuh, belajar seumur hidup, menjalankan nilai-nilai, melayani, yakin dan optimis, serta memberi cinta tanpa syarat.

Sedangkan menurut Psikolog sekaligus play therapist dari Universitas Indonesia, Dra Mayke S Tedjasaputra MSi, menyebutkan, ”Positive parenting adalah pola pengasuhan yang suportif, konstruktif, serta menyenangkan bagi anak."


Saya mencoba merangkumnya dan membuat poin-poin yang memudahkan saya dalam penerapan sehari-hari.



(1) Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk anak.

Sebuah rumah dihidupkan oleh keluarga yang menghuninya. Rumah yang kondusif untuk anak tidak harus rumah bagus, apalagi mewah. Secara fisik anak memerlukan rumah yang rapi, bersih dan sehat. Sedangkan untuk mengisi jiwanya, anak membutuhkan kehangatan keluarga. Kunci kehangatan keluarga adalah kekompakan dan keharmonisan kedua orangtuanya.

Nah, pastinya kompak dan harmonis 100% tidak mudah. Banyak persoalan dalam hidup yang memerlukan diskusi, bahkan perdebatan suami istri. Termasuk dalam hal terkait kebutuhan anak seperti memilih sekolah anak, memilih dokter, tujuan rekreasi akhir pekan dan banyak lagi. Setidaknya, orangtua menahan diri untuk tidak berdebat di depan anak. Sekaligus, segera netralisir suasana agar kembali ceria.

(2) Pentingnya kebersamaan.

Masih terkait poin pertama, kebersamaan keluarga sangat penting. Orang sering bilang, kuantitas kebersamaan bukan keharusan, yang penting kualitas. Well, bagaimana anda mengukur sebuah kualitas kebersamaan? Oke, bisa diartikan dengan fokus dan intens berinteraksi. Akan tetapi, untuk membangun sebuah pertemuan berkualitas tetap membutuhkan kuantitas.

Sebagai contoh apabila kita bertemu dengan seseorang teman setiap hari dan intens mengobrol. Lama-kelamaan semakin akrab dan menjadi sahabat. Lalu kemudian karena terpisah jarak, sahabat tersebut hilang komunikasi selama setahun atau lebih. Ketika bertemu, apalagi hanya sebentar, tidak akan mudah menjalin komunikasi sama seperti saat sering bertemu. Karena itu, kuantitas pertemuan tetap penting. Bertemu tidak harus hadir di depan mata, tetapi bisa juga melalui telepon atau web cam.

Kebersamaan ini bisa diwujudkan dalam sentuhan, bermain bersama dan obrolan. Anak membutuhkan waktu khusus dengan kita, diisi dengan berbagai kegiatan dan sentuhan. Anak akan merasa dicintai dan tidak akan mencari perhatian lewat perilaku buruk.

(3) Kelola emosi.

Setiap orangtua, saya yakin, pernah terlibat dalam situasi "memanas" dengan balitanya. Apalagi memang balita sedang dalam fase "menguji kesabaran mama, ah!"

Apabila situasi itu terjadi, tidak ada gunanya memaksakan diri beradu suara dengan anak. Sikap dingin (plus pura-pura tidak melihat) akan lebih baik untuk sang mama. Pertama, mendinginkan emosi diri sendiri. Kedua, membuat anak merasa tidak dipedulikan, sehingga perlahan mengerti bahwa membangkang bukan cara yang efektif menarik perhatian mama.

(4) Menggunakan Bahasa Positif

Saat anak bercerita, itulah saatnya kita mendengarkan. Jangan pernah menunjukkan sikap tidak percaya atau langsung menolaknya, "Ah masa sih begitu?". Hindari juga memberi label pada anak, misal "Ternyata kamu memang penakut ya!". Berbicara dengan nada negatif mengakibatkan anak merasa tidak dihargai dan minder. Kalimat negatif juga menghilangkan kedekatan orangtua dan anak.

Mari membesarkan hati anak-anak kita. Beri pujian yang wajar, percayai kata-katanya, mendengarkan saat anak berbicara akan membantu anak mengembangkan percaya dirinya. Kalaupun mereka membuat suatu kesalahan, tegurlah mereka namun tetap hargai mereka.

Untuk itu, saya selalu mengingatkan diri sendiri betapa tidak enak ditegur atasan dengan nada "sinis", atau "tidak percaya". Kita bisa sakit hati, anak pun demikian.

(5) Terapkan aturan secara konsisten

Agar anak bisa berdisiplin, perkenalkan dengan aturan sejak kecil. Bahkan sejak belum bisa berbicara. Pembiasaan akan memudahkan anak untuk melakukan sesuatu secara terjadwal. Kelak akan terasa manfaatnya ketika dewasa. Aturan juga memupuk tanggung jawab anak, sehingga ia bisa memiliki pola hidup yang teratur.

Menerapkan aturan, tentunya membutuhkan proses, selain juga dalam penerapannya harus konsisten. Setiap usia akan mempunyai batasan tersendiri. Anak-anak kadang-kadang akan mencoba aturan-aturan yang sudah diberikan. Di sini kita harus bersikap konsisten untuk mendorong mereka melakukan apa yang sudah digariskan.


Dengan membuat batasan berarti kita telah menyediakan lingkungan fisik yang memberikannya rasa aman dan dapat dijadikan tempat belajar.

(6) Pengasuhan Tanpa Hukuman

Hukuman bukan solusi agar anak menjadi penurut. Anak mungkin akan takut, tetapi bukan menurut. Kelak saat keberaniannya muncul, hukuman tidak akan berarti baginya, selain meninggalkan memori buruk.

Mengasuh anak tanpa hukuman hasilnya lebih baik, dengan catatan : bukan berarti permisif (boleh melakukan hal yang buruk). Aturan tetap berlaku, namun bila melanggar, konsekuensi akan menanti. Bantu anak mengenali kesalahannya dan biarkan memilih konsekuensi yang disepakati bersama.

Memberi pilihan membuat anak untuk mengontrol apa yang terjadi pada dirinya, hal ini penting untuk penghargaan terhadap diri sendiri dan bertanggung jawab. Harus diingat pilihan yang diberikan harus dapat diterima anak.

Contoh kongkritnya begini, saat Cinta selalu menolak mandi cepat sore hari. Saya beberapa kali mengingatkan. Nada paling keras yang saya sampaikan adalah "Cin, kalau kamu tidak mandi nanti kamu ketinggalan waktu bermain dengan teman-temanmu". Saya memang tidak mengijinkan dia bermain sebelum mandi. Nah, kadang-kadang Cinta memilih mandi dan segera bisa bermain. Tetapi tak jarang dia memilih bersantai. :) ya sudah, saya tidak memaksanya lagi.

Kelihatannya gampang ya, penerapannya bagaimana?

Jujur saja, saya dan suami masih jauh dari angka 99% positive parenting. Kami terus belajar dan belajar. Saya dan suami saling mengingatkan, terutama saat emosi keluar.

Hal terbaik untuk mengingatkan diri sendiri adalah bahwa anak-anak ini telah memberi kebahagiaan melalui kehadirannya, keceriaannya dan satu paket dengan rasa ingin tahu dan experimen yang seringkali "menggemaskan". Kami tak ingin kehilangan tawa ceria mereka, tak mau kehilangan binar matanya. Ingat, satu bentakan saja sudah bisa meredupkan binar mata dan membuat bibir terkatup. Jadi, jangan lakukan lagi, Arin!

Kami ingin membangun keluarga yang bahagia. Karena bahagia itu tidak harus sempurna. Kami bersemangat terus memperbaiki diri namun punya toleransi pada kegagalan dan tetap saling memberikan dukungan. Dengan Positive parenting-lah caranya, sehingga mampu meminimalkan "kekerasan dan emosi" serta memaksimalkan "cinta dan penghargaan".


Foto dari Fotolia.com
Sumber ilmu:

Loomans, Diana & Julia Godoy. 2005. Positive Parenting. Bhuana Ilmu Populer.
www.tabloid-nakita.com

http://m.okezone.com/read/2010/08/27/196/367202/196

http://keluargacemara.com/keluarga/sepuluh-perangkat-penting-dalam-pengasuhan-yang-positif.html

Komentar

Posting Komentar