Langsung ke konten utama

Sate yang Terbakar dan Emosi yang Teredam


Dua 'aha' momen yang mengulik kesadaran saya terjadi di sebuah warung sate kambing sederhana di Trenggalek, Jawa Timur, sekitar 3 tahun lalu.

Dilihat dari luar, warung sate kambing itu tidak terlalu meyakinkan. Kalau saja tidak mencobanya, saya tidak akan tahu kenapa banyak orang merekomendasikan warung tersebut. Rahasianya adalah pada dagingnya yang segar dan bumbunya enak. Sate Kambing salah satu kuliner yang banyak dijumpai di Trenggalek, kota kelahiran saya (berulang kali dengan bangga saya menyebutnya, walaupun di profil blogger telah nyata tersebutkan). Dan warung sate ini dalam daftar wajib yang harus saya kunjungi saat mudik.



Insiden 6 Tusuk Sate.

Saya dan suami memesan 2 porsi sate kambing. Satu porsi berisi 10 tusuk sate. Tak lama, asap dan aroma daging terbakar menyeruak ke dalam bilik warung yang terbuat dari bambu. Angin membawa partikel-partikel asap dari tempat pembakaran ke dalam warung. Anehnya, asap yang tidak terlalu pekat ini justru terasa nikmat di indera penciuman. Rasa laparpun semakin kuat.

Belum juga sate tersaji, seorang pembeli lain masuk, “Satenya masih ada, Pak? Saya pesan 10.” 

Terlihat wajah Tukang Sate sedikit gusar. Beliau memandang bergantian antara saya, Suami dan pembeli yang baru masuk itu. 


Dalam Bahasa Jawa, Bapak Tukang Sate berkata kepada saya dan suami, “Maaf Bu, satenya tinggal 20 tusuk. Bapak ini juga ingin membeli 10 tusuk. Apakah boleh kalau dari 20 tusuk itu dibagi 6 tusuknya untuk si Bapak ?” 

Saya dan suami tertegun. Sesaat kemudian rasanya ingin marah. Kami yang datang duluan, kenapa harus menyisihkan untuk si Bapak itu? Bilang saja ke dia kalau satenya habis. Gampang kan? _ begitu batin saya.

Hai, ini Trenggalek, Rin! 

Untung, selintas berikutnya hati saya mengingatkan. Saya tidak jadi marah. Trenggalek, nama yang konon diambil dari kalimat “terang ing galih” (terang di hati). Sebuah masyarakat yang masih tinggi jiwa toleransi, ewuh pakewuh, sopan santun, tolong menolong dan gotong royong. Sudah 20 tahun saya meninggalkan kota ini, dan hampir lupa bagaimana kosa kata tadi harus diterapkan.

Bagaimana saya harus bersikap, apakah dengan mempertahankan hak, atau dengan berbagi hak? Walaupun keduanya tidak salah, berbagi tidak akan menurunkan harga diri. Saya pikir opsi kedua lebih baik.

Insiden kecil di warung sate yang menguji kesabaran. Betapa lembutnya hati Tukang Sate itu. Hal yang terlihat sepele, tetapi coba pikir lagi, ada lebih dari satu makna sikap membagi sate tersebut. 

Sementara saya baru sadar setelah agak lama, ternyata Tukang Sate sudah menyadari hal-hal berikut ini lebih awal,

Mungkin, Bapak pembeli baru itu datang dengan hasrat yang menggebu karena rindu makan sate sekian lama.
Mungkin, Bapak itu juga punya keinginan yang sama besar dengan pembeli lainnya, hanya saja dia kalah waktu.
Mungkin, Bapak itu datang perut yang sama lapar, atau lebih lapar.
Mungkin, Bapak itu telah datang dari jauh dengan tenaga dan biaya yang harus dibayarnya.
Siapa tahu, dengan berbagi sate Bapak itu akan sangat bahagia menerimanya.
Siapa tahu, kelak peristiwa ini menjadi jalan terjalinnya silaturami.
Siapa tahu, ya siapa tahu, banyak hal baik yang akan mengikuti dari ketulusan ini.

Masih sanggupkah untuk tidak berbagi?
Masa iya, tidak ada tempat untuk bernegosiasi dengan dalih siapa cepat dia dapat (atau siapa yang sanggup membayar, maka dia yang dapat) ? 


“Inggih, Pak, monggo kemawon dipun bagi sate-nipun” (Iya Pak, silakan saja dibagi satenya) . 
Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut saya. 

6 tusuk sate saja.
Ya, kelihatannya hanya soal berbagi 6 tusuk sate. Namun saya merasa tersentuh dari kejadian ini. 6 tusuk sate tanda rasa sayang dan bukti empati, pada orang yang tidak dikenal sekalipun.

6 tusuk sate yang sesungguhnya memang hak saya, dan saya sanggup membayar, tetapi Tukang Sate itu memberanikan diri bernegosiasi dan berhasil mengetuk hati saya untuk melepaskannya.

Kalau berbagi sate saja tidak bisa, bagaimana mau berbagi hal-hal yang lebih besar?

**

Trenggalek, kota kecil dan terpencil dengan ketentraman yang selalu membuat kami rindu ingin mengujunginya. Daerah Trenggalek sebenarnya gersang, pepohonan tak pernah bisa tinggi. Pohon jati tumbuh dan bertahan meranggas di musim kemarau. Suasana panas ini berkebalikan dengan suasana penduduknya yang selalu adem. Mudik setahun sekali mampu meredam ambisi, emosi dan keriuhan rutinitas kehidupan yang sibuk.

Sebenarnya cara paling mudah dan cepat mencapai Trenggalek adalah dengan naik pesawat dari Kota Malang dan lanjut dengan mobil. Sekarang tidak sulit untuk mendapatkan tiket murah. Ada Skyscanner, sebuah mesin pencari tiket pesawat, hotel, dan rental mobil di seluruh dunia, bisa membantu kita mencari tiket pesawat murah dengan cara mengumpulkan informasi promo dari berbagai jasa penyedia tiket pesawat.


**
Maafkan Mantu dan Cucu saya, Pak!

Ini adalah insiden berikutnya. Masih di warung sate kambing sederhana itu.

Seusai makan, kami menuju mobil yang diparkir di samping warung sate. Sebuah mobil lain berplat L (asal Surabaya) terparkir di sebelah mobil kami. Bertepatan ketika kami hendak masuk ke mobil, seorang anak kecil membuka pintu mobilnya tersebut lebar-lebar dan mengenai sisi mobil kami. “Brak!”

Suami saya menegur pemilik mobil dengan kalem (mengingat kami ada di kota penuh kelembutan). “Pak, maaf anaknya tolong dikasih tahu kalau membuka pintu mobil pelan-pelan.”.

Rupanya, orangtua anak tadi marah. Alih-alih meminta maaf, malah mengeluarkan kata-kata kasar kepada kami. Tak lama seorang Bapak Tua keluar dari mobil. Bapak Tua itu menghampiri suami saya. 

“Maafkan menantu dan cucu saya, Pak. Nanti akan kami nasehati dia.” 

Bapak Tua itu menyalami tangan kami. Dan akhirnya semua masuk ke mobil masing-masing. Lagi-lagi kami disuguhi kelembutan sikap masyarakat Trenggalek.

Kelembutan sikap masayrakat Trenggalek ini pun kemudian menjadi bahasan antara saya dan suami.

“Kenapa Bapak itu begitu baik memintakan maaf cucu dan menantunya?” kata suami membuka obrolan.

“Bapak itu adalah orang Trenggalek tulen," jawab saya setengah berseloroh. “Kota ini mendidik orang-orangnya untuk sabar dan melembutkan hati.” 

“Iya juga, terlalu lama tinggal di kota besar yang sibuk membuat hati kita mengeras. Persaingan hidup membuat kita melupakan toleransi dan tolong menolong. Banyak hal yang kita lakukan hanya dengan melihat dari sisi kepentingan kita sendiri,” lanjut Suami.

Di sini, rasa toleransi sangat kental. Emosi harus dipendam dalam-dalam. Berbicara sopan semacam keharusan.
Di kota sekecil ini, bisa saja yang menjadi lawan bicara kita adalah saudaranya-saudaranya-saudara, atau temannya-temannya-teman yang kita kenal. Sejauh apapun hubungan, saudara tetap saudara, teman tetap teman. Kalau kita terlanjur bersikap dengan emosi, rasa malu akan kita tuai. 
Dua kejadian di Warung Sate yang menyadarkan kami. Sebuah perjalanan berharga yang kami dapatkan. Cukuplah sate yang terbakar di atas perapian, tapi hati kita jangan mudah terbakar api emosi.


Komentar

  1. Duh, Mbak, tertohok banget setelah baca ini. Iya, aku sepakat. Orang sekarang kebanyakan mau menang sendiri. Kalau kesenggol dikit sudah merasa terdzolimi. Makasih, mbak, sharingnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama. Saya bisa menuliskan ini, tapi prakteknya syuuusyaaah...

      Hapus
  2. Terang ing galih-nya itu 'aha' moment banget. Traveling melembutkan hati..

    BalasHapus
  3. Ya ampuuun, cerita ini sederhana tapi sangat mengena :)
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    BalasHapus
  4. Jadi inget Garut, kota kecil yg sama ademnya dg kota Trenggalek. GL Mbak..Ambu doain sukses trs buat mbak Arin

    BalasHapus
  5. Filosofi masyarakat tenggralek bikin adem mudah2an dianut hingga generasi saat ini dan kedepannya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menjaganya tetap adem itu yang susah.. dunia kian memanas. EMosipun demikian.

      Hapus
  6. Banyak pelajaran yang kita petik dari perjalanan ya mbak termasuk empati dan toleransi kepada sesama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mba. sering-sering ya jalan-jalan biar banyak inspirasi

      Hapus
  7. Saya yang orang Jatim malah belum pernah ke Trenggalek. Jadi penasaran nih apa betul terang ing galih. Sekalian nyobain sate kambing dan ke pantainya. Di kota kelahiran saya sekarang agak beda, orang kok rasanya malah susah toleransi. Kasih jalan buat lewat aja kayak rugi banget deh. Aha aha, harus masuk agenda ke Trenggalek nih biar dapat aha moment dari warga setempat!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena Trenggalek terpencil, arus moderenisasi nggak sederas kota kota lain. Masih cool, calm and confiden hehehe

      Hapus
  8. Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition "Aha Moments" Skyscanner Indonesia. Good luck :)

    BalasHapus
  9. Jejak. Terima kasih atas partisipasinya. :)

    BalasHapus
  10. "Iya juga, terlalu lama tinggal di kota besar yang sibuk membuat hati kita mengeras. Persaingan hidup membuat kita melupakan toleransi dan tolong menolong. Banyak hal yang kita lakukan hanya dengan melihat dari sisi kepentingan kita sendiri"

    Saya kutip tulisannya ya, mbak. Ini keren sekali.
    Memang, kadangkala orang yang sering panas hati perlu sesekali piknik ke daerah atau kota kecil. Sekedar mengingatkan mereka akan arti penting bertoleransi dan mengasah kesabaran.

    Selamat jadi pemenang, mbak

    BalasHapus

Posting Komentar