Langsung ke konten utama

Video yang Bercerita ala Fikri Hidayat [Danone Blogger Academy]


Banyak cara untuk menyampaikan sebuah cerita yang berhubungan dengan story telling non fiksi (video journalism) yang bukan reality show di TV, bukan juga artikel depan di media mainstream. 



Membuat video yang bercerita ini adalah materi dari mas Fikri Hidayat, Kameramen Kompas pada hari ke 3 (11 November 2017) Danone Blogger Academy (DBA) yang digelar di Gedung Cyber 2 Jakarta.  



Ada dua cara penyampaian cerita dalam video, yaitu pertama secara kronologis (dimulai dari awal hingga akhir) dan kedua, sampaikan yang penting terlebih dahulu.

Anda pilih yang mana? tentukan salah satu sebelum menyusun sebuah video. Hal ini menentukan menarik atau tidaknya sebuah video, yaitu tepatnya pada menit pertama sebuah video ditayangkan. Apakah penonton mau berhenti atau mau lanjut.

Tahapan alur sebuah video rata-rata sebagai berikut :
  1. Exposition (paparan) untuk mengenalkan karakter, konflik atau dasar sebuah video.
  2. Rising Action, mengungkapkan komplikasi kerumitan secara lebih rinci.
  3. Climax, saat ketengangan puncak dalam sebuah cerita.
  4. Falling action, pasca klimaks. Mungkin masih melanjutkan ketegangan tetapi sudah mengarah pada kesimpulan.
  5. Resolution / Deounement atau akhir cerita. Komplikasi diselesaikan dan cerita berakhir.
Tantangan blogger dalam membuat video adalah bagaimana membangun cerita dengan membentuk cerita dan mendesain struktur cerita. Semakin pendek durasi semakin besar tantangannya.

Mungkin anda sering dengar Drama 3 Babak? Nah, bisa digunakan dalam membuat vlog juga. Yang dimaksud Drama 3 babak adalah sebuah cerita yang terdiri dari :
  • Babak 1 : perkenalan karakter. Pengenalan subyek, alasan mengapa perlu perhatian pada subyek tersebut, dan perkenalan kunci dari konflik.
  • Babak 2 : biasanya adalah bagian terpanjang dari sebuah video, yaitu dengan menampilkan komplikasi cerita secara berlapis dan intensif.
  • Babak 3 : penyelesaian konflik atau krisis dengan cara yang memuaskan.
Buat vlogger tentunya tahu dan sering menjadi presenter narasi bagi videonya sendiri. Iyalah, kalau bayar presenter profesional kan mahal hahaha..

Ada 3 cara pendekatan narasi :
  1. On Camera Reporter : anda sebagai vlogger berbicara langsung dengan wajah menghadap kamera (terekam kamera).
  2. Voice Over Naration : Narasi yang menekankan cerita. Wajah reporter tidak terlihat, suara reporter tetap terdengar sambil menampilkan gambar-gambar yang ada di sekitar kejadian untuk memperdalam cerita.
  3. Cinema verite (Natural sound), hanya menggunakan suara atau percakapan alami dengan suara-suara sekitar. Tidak ada suara reporter baik on camera maupun voice over. 
Dalam sebuah scene wawancara, sebaiknya dilakukan pengambilan gambar dalam posisi reporter dan narasumber tetap. Misalnya reporter di kiri, narasumber di kanan, begitu seterusnya sepanjang video. Boleh ganti angle misalnya kamera dari kiri, kanan, atas atau bawah namun posisi antara kedua sumber suara tersebut tetap agar penonton tidak  bingung. 

Gambarnya begini, perhatikan garis hijau adalah sisi boleh pengambilan gambar dan garis merah adalah sisi tidak boleh untuk pengambilan gambar karena akan membuat posisi narasumber pada layar berubah.


Di kelas ini juga kami dikenalkan pada tipe-tipe mikrofon. Vlogger selayaknya memiliki mikrofon untuk smartphonenya. Karena kalau hanya mengandalkan mikrofon smartphone dalam jarak agak jauh langsung akan banyak suara latar yang masuk. Tidak mungkin kan kalau semua gambar diambil jarak dekat dengan mulut reporter? Solusinya, pakai mikrofon dengan kabel atau wireless. Headset bawaan smartphone juga bisa digunakan. 

Pengennya sih saya membeli Lavalier Microphone, tetapi kalau beli online ternyata butuh waktu 2 minggu karena dikirim dari luar negeri. Akhirnya saya coba pakai headset bawaan Samsung dan bisa. Lumayan untuk pengambilan video jarak 1-2 meter bisa jernih suaranya sepanjang masih terjangkau kabel headset.

Jenis-jenis mikrofon ada banyak sebenarnya, masing-masing dengan fungsi dan kegunaan berbeda. Terutama untuk menghasilkan suara reporter lebih jernih saat banyak suara latar seperti angin, motor atau deburan ombak.
Jenis mikrofon dan area jangkauan suara yang bertanda merah.

Mas Fikri juga menjelaskan beberapa tips memotret dengan kamera saku. Ya beliau paham banget modal dasar blogger adalah smartphone, jadi ya dimaksimalkan saja alat yang satu ini. Tidak perlu alasan 'belum punya kamera bagus' (baca : DSLR / Mirorless) untuk bisa membuat foto yang bercerita.

Tips memotret dengan kamera saku :

  1. Cahaya cukup. Kenali jenis kamera saku dengan sering latihan untuk mengetahui seberapa besar pencahayaan yang dihasilkan. Jika masih kurang, sesuaikan dengan pengambilan gambar outdoor, dekat jendela atau dengan lampu sorot. Catatan : lampu yang menyorot terus menerus, bukan blitz.
  2. Shutter lag. Kamera smartphone memiliki shutter lag berbeda tiap jenisnya. Shutter lag ini adalah jeda antara waktu memencet dan waktu kamera mengambil foto. Kenali jeda ini agar tangan terbiasa tidak segera goyang sampai gambar telah terambil sempurna.
  3. Stabil. Karena kita tidak bisa mengatur kecepatan rana pada kamera smartphone, maka usahakan memegang kamera secara stabil. Smartphone relatif ringan sehingga lebih mudah dikuasai, tidak berat.
  4. Jangan gunakan digital zoom karena foto akan pecah saat diperbesar. Digital zoom hanya akan mengurangi pixel foto. Usahakan mendekati obyek saat menginginkan gambar yang lebih besar.
  5. Pelajari komposisi. Ini penting. Untuk kebutuhan jurnalistik ada pendekatan yang bisa dilakukan yaitu EDFAT (Entire, Detail, Frame, Angle, dan Time).
EDFAT
adalah metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detil dan tajam. Unsur dalam metod itu antara lain :
  1. Entire. Dikenal dengan established shot, yaitu keseluruhan pemotretan yang dilakukan ketika melihat sebuah peristiwa. 
  2. Detil. Suatu pengambilan foto yang lebih mendekati obyek menarik (poin of interest) setelah dilakukan entire shot.
  3. Frame. Suatu tahapan kita membingkai detil yang dipilih. Fase ini mengantarkan jurnalis mengenal komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek yang akurat. Rasa artistik mulai terasah pada fase ini.
  4. Angle. Tahap dimana sudut pandang mulai dominan. Misalnya tampak dari bawah, tengah, atas, bird view, frog's eye (mata kodok).
  5. Time. Tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi tepat antara diagfragma dan kecepatan dari ke 4 tahap sebelumnya. Merupakan kemampuan teknis dalam membekukan gerakan atau memilih ketajaman ruang.
EDFAT ini harus diasah, tidak cukup dengan teori dan penggunaan perangkat yang canggih saja. Jadi sebelum membeli kamera canggih yang biasanya mahal, asah dulu kemampuan EDFAT ini.

Pertanyaan-pertanyaan saya.

Kesempatan emas ini saya gunakan untuk bertanya. Kebetulan saya berencana membuat video tugas akhir dengan metode wawancara. 

Apakah diperkenankan memotong jawaban-jawaban koresponden dalam editing video ?
Jawaban : Diperkenankan selama tidak mengubah konteks kalimat secara utuh.
Apakah diperkenankan mengarahkan jawaban ?
Jawaban : Tidak.
Bagaimana solusinya agar video mengalir?
Jawaban : Mungkin yang dimaksud memberikan pertanyaan dan waktu berpikir sebelum shoting video dimulai. Banyak orang yang biasanya pandai bicara, namun begitu berhadapan dengan kamera langsung salah tingkah dan belepotan bicaranya. Oleh karena itu diperkenankan mengajukan kisi-kisi pertanyaan dan jawaban boleh dipersiapkan oleh koresponden itu sendiri tanpa campur tangan reporter.
Suara saya cempreng. Apakah ada alat khusus atau teknik khusus untuk memperbaiki suara?
Jawaban : Ada alatnya tapi mahal. Bisa juga dengan teknik suara diagfragma. Namun perlu diingat, orang justru menyukai suara khas dari sang vlogger. Itu ciri khas anda. Saat ini orang lebih suka melihat video yang natural, tidak terlalu banyak rekayasa.  Lihat saja youtuber-youtuber yang banyak fansnya itu, mereka besar dengan keunikan masing-masing.
Soal suara cempreng ini saya mendapat tips dari mba Indria Salim, salah satu akademia yang suaranya lembut dan empuk. Suara mungkin tidak berubah, tapi coba intonasi diperlambat sehingga tidak terburu-buru dan suara lebih bisa di dengar. Wah, tips yang oke dari mba Indria. Makasih ya mba.

Iyes, semakin bartambah ilmu tentang video blog. Siap-siap untuk mewawancarai koresponden untuk tugas akhir DBA.

Di akhir kelas, mas Fikri meminta semua akademia untuk membuat video singkat tentang DBA. Seru nih, semua saling mewancarai. Riuh suara sehingga hasil videonya malah lucu-lucu.

Baca juga cerita lengkapnya : Akademia Menulis Danone Blogger Academy




Komentar

  1. wah ilmunya bermanfaat banget mba buatku yg lagi mau serius ngevlog

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru bikin vlog itu.. minimal buat dilihat-lihat sendiri. Saya belajar dari film dan drama-drama buat pengambilan gambar biar gak monoton

      Hapus
  2. Lama lama blogger perlu belajar tekhnik wawancara juga ya Mbak ? trimakasih untuk artikel yang bermnafaat :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah dari dulu seharusnya. Sejak sebelum menulis sebuah topik harus riset dan wawancara. Nggak hanya main kira-kira, asumsi dan risetnya sekedarnya.

      Hapus

Posting Komentar