Langsung ke konten utama

Mengembalikan Fitrah Susu


Susu masih menjadi barang mewah bagi masyarakat Indonesia dikarenakan daya beli masyarakat yang belum bisa meraih harga susu. Selain itu, masyarakat Indonesia ternyata juga kurang menyukai susu karena kondisi perut yang peka terhadap susu, dengan efek diare atau mual. Faktor – faktor di atas menjadikan tingkat konsumsi susu di Indonesia masih terendah di Asia, yaitu 11,09 liter per kapita per tahun. Sementara masyarakat Malaysia dan Filipina mencapai 22,1 liter, Thailand 33,7 liter , India 42,08 liter, bahkan Vietnam lebih tinggi dari Indonesia yaitu 12,1 liter per kapita per tahun (sumber: Republika 2012)

Mirisnya lagi, dari konsumsi masyarakat yang rendah tersebut, hanya 30% diperoleh dari produksi susu dalam negeri, sisanya 70% adalah susu impor. Tingginya persentase susu impor ini karena masyarakat lebih banyak mengkonsumsi susu bubuk yang lebih banyak adalah produk luar negeri, dibandingkan mengkonsumsi susu segar cair. Untuk mendorong meningkatnya daya beli susu masyarakat, diharapkan pemerintah dapat mengusahakan peningkatan produk susu dalam negeri yang lebih murah. Namun tentu saja dengan catatan, kualitas pengolahan dan pengemasan susu juga harus bagus sehingga mengurangi jumlah susu segar yang terbuang karena rusak. 

Perang susu 

Sementara konsumsi susu masyarakat masih sangat rendah, pro kontra susu sapi justru marak beredar di masyarakat. Pro kontra ini mengaburkan pandangan masyarakat tentang kedudukan susu dalam menu gizi sehari-hari. 

Sudah sejak lama, promosi susu berkepentingan bisnis merambah di negeri ini, bahkan menyusup dalam peran dokter dan bidan sebagai agen informasi kesehatan di masyrakat. Iklan susu di berbagai media baik cetak maupun elektronik seringkali kurang masuk akal, bahkan menyesatkan. Lihat saja banyak iklan susu formula untuk balita yang menafikkan peran-peran keibuan, seolah-olah kepandaian dan kesehatan anak sangat bergantung pada satu-satunya sumber nutrisi yaitu susu. Gencarnya iklan susu formula berdampak mengkhawatirkan, yaitu meningkatnya pemberian susu formula pada bayi, bahkan pada bayi dibawah usia 6 bulan. Susu formula membuat Ibu-ibu kurang semangat dan cepat menyerah manakala mengalami kesulitan memproduksi ASI. Iklan susu untuk manula juga berlebihan. Iklan tersebut memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat bahwa sebenarnya penyerapan kalsium oleh manula tidak cukup efektif karena faktor usia. 

Reaksi datang dari kelompok masyarakat pejuang ASI. Reaksi penolakan susu sapi bagi bayi banyak didasarkan pada fakta-fakta tentang manfaat ASI, menyangkal mitos ASI dan fakta bahaya mengkonsumsi susu sapi bagi bayi. Pengungkapan fakta ini menjadi edukasi bagi masyarakat sehingga kembali menjadikan ASI sebagai makanan utama bayi. 

Kemudian reaksi ini meluas pada kelompok masyarakat pro bahan pangan nabati. Mereka tidak hanya mencegah pemberian susu formula pada bayi dibawah 6 bulan, namun juga mengkampanyekan bahaya susu bagi segala usia. Secara ekstrim ada kelompok yang menamakan dirinya anti susu sapi. Gerakan anti susu sapi ini diawali berbagai penelitian yang mengungkap bahwa susu dapat memicu kanker, diabetes, peningkatan kolesterol, dan alergi. Mereka beranggapan bahwa manfaat susu sebagai nutrisi penunjang kesehatan akhir-akhir ini mulai diragukan . Bahkan, susu yang dulu dipercaya sebagai pencegah osteoporosis berbalik dianggap sebagai penyebab osteoporosis dengan mengacu pada masyarakat Amerika sebagai peminum susu tertinggi, namun memiliki masyarakat penderita osteoporosis tertinggi pula. 

Sayangnya, reaksi penolakan susu ini kadangkala terasa berlebihan. Sering terlontar sebutan “anak sapi” yang disematkan pada anak yang mengkonsumsi susu formula. Dan adanya slogan “sapi saja tidak minum susu, kenapa manusia minum susu ?” Kelompok anti susu bahkan mengklaim susu sebagai makanan terburuk yang dapat membunuh. Saya merasa prihatin dengan ungkapan-ungkapan itu, karena kampanye yang dikemas secara emosional justru dapat menjadi boomerang, menghilangkan simpati dan menggagalkan kampanye ASI. 

Fitrah Susu 

Perang susu agaknya telah membawa susu jauh dari makna susu sebenarnya dalam pangan manusia. Untuk menjembatani : perang susu ini, mari kita coba mengembalikan susu pada fitrahnya : 

Bahwa ASI atau air susu ibu adalah makanan ekslusif bayi 0-6 bulan, dan makanan terbaik untuk bayi hingga usia 2 tahun. ASI mengandung antibodi dan zat gizi yang diperlukan bayi, yang tidak terdapat pada susu lain. Bayi yang diberi susu sapi memiliki angka kematian yang jauh lebih tinggi, karena mengalami kecenderungan diare dan infeksi telinga 80 % lebih tinggi dibandingkan yang minum ASI eksklusif. ASI juga meningkatkan IQ anak sekitar 8-10 point lebih tinggi disbanding mereka mereka yang tidak mendapatkan ASI. 

Bahwa susu adalah bahan makanan yang layak dikonsumsi dan halal. Al Quran surat An-Nahl 66 menyebutkan “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” Dengan demikian tak perlu ada keraguan lagi karena Al-Qur’an pun menganjurkan kita untuk minum susu. 

Bahwa susu adalah salah satu pangan sumber kalsium, namun bukan satu-satunya. Ada banyak makanan sumber kalsium seperti sayuran hijau, tahu, ikan , udang, teri, dan kacang-kacangan. Dengan kata lain, susu adalah pangan penting, namun tidak menjadi keharusan. Akan lebih baik jika kita mendapatkan sumber nutrisi dari jenis pangan yang beragam. Semboyan “empat sehat lima sempurna” agaknya sudah layak diganti dengan “menu seimbang”. 

Harvard School of Public Health (HSPH) dalam salah satu uraian di situswebnya mencoba memberikan solusi terkait pro dan kontra masalah susu. HSPH menyebutkan bahwa berbagai masalah yang ditimbulkan oleh susu berawal dari konsumsi susu yang berlebihan. Menurut HSPH, tidak ada penelitian yang mendukung manfaat susu bila susu diminum lebih dari satu gelas sehari. Minum susu berlebihan meningkatkan risiko terjadinya kanker prostat dan ovarium, akan tetapi, minum susu satu gelas sehari mempunyai dampak positif. 

Penting bagi kita menggali ilmu secara seimbang tentang suatu hal. Informasi yang sepotong-sepotong namun diberlakukan secara general akan menimbulkan kerancuan. Masing-masing pendapat memegang alasan yang kuat, dilatarbelakangi oleh data penelitian para profesor dan ahli susu. Saya bukan pada kapasitas sebagai ahli susu, atau ahli nutrisi. Saya hanyalah konsumen susu yang berusaha terus mencari kebenaran tentang susu. 

Pro-kontra soal susu tak murni soal nutrisi. Saya pikir, sudah sepantasnya kita kembali menempatkan kedudukan susu sebagaimana mestinya dalam pangan kita. Masyarakat Indonesia masih jauh dari status kelebihan susu. Dengan melihat konsumsi susu masyarakat Indonesia yang rendah, kampanye budaya minum susu masih perlu untuk dilakukan. Tentu saja, dengan kampanye yang masuk akal dan menempatkan susu pada fitrahnya.

Komentar

  1. suka banget dengan tulisan ini mba, iya setuju kalau segala yang berlebihan itu ga baik..

    BalasHapus

Posting Komentar