Kadangkala, sesuatu keinginan spontan, justru menjadi kenyataan. September 2018, tiba-tiba saja Mas Ari bilang, "Aku ada meeting di Bangkok bulan November. Ikut yuk, semuanya"
Dan jawaban saya "Ayoooo".
Padahal kami dan anak-anak baru cuti agak lama bulan sebelumnya. Belum pula mengintip skedul akademik anak-anak. Dan jelang tutup tahun biasanya saya super sibuk jaga lilin demi sebuah kata keramat "tutup buku".
Ada euforia yang menggebu-gebu dari kami bertiga (saya, Cinta dan Asa). Buat Asa ini adalah perjalanan ke luar negeri yang pertama. Dan buat saya, ini seperti membayar hutang pada Asa membawa ke luar negeri, karena paspornya belum pernah basah sejak dibuat 4 tahun silam. Buat Cinta, walau ini pengalaman kedua ke LN, tapi juga pengalaman pertama ke Bangkok.
Semua seperti digerakkan. Saya mengatur itinerary sedetil mungkin. 7 hari di Bangkok lumayan panjang untuk eksplorasi kota. Saya googling dan menemukan banyak rekomendasi tempat jalan-jalan di Bangkok. Yang saya cari terutama : Tempat belanja murah, tempat wisata populer, moda transportasi, dan tempat makanan halal. Dengan memperhatikan kemampuan fisik kami, saya menargetkan hanya 2 destinasi setiap harinya.
Google Map sangat membantu.
Semua destinasi itu saya simpan di Google Map bahkan sebelum saya membeli tiket pesawat, hihihi. Luar biasa membantu, karena dari Maps kita bisa melihat foto, video, review sehingga bisa membayangkan situasinya nanti seperti apa.
Hal-hal berikut yang saya perhitungkan sebelum berangkat :
- Tempat makanan halal, mengingat Asa banyak makannya (kami pun juga) maka perjalanan 7 hari harus tahu dimana mencari makanan halal. Agar kami cukup nutrisi dan tidak sakit.
- Hotel halal. Dari pencarian tempat makanan halal, informasi merembet ke hotel halal. Sebenarnya ini tidak sengaja mencari. Kebetulan saja di salah satu resto halal dekat dengan hotel halal. Akhirnya pencarianpun meluas. Ada beberapa hotel halal dan saya memutuskan memilih Nouvo City Hotel.
- Jarak, waktu tempuh dan moda transportasi dari satu tempat ke tempat lain. Saya pikir perjalanan kami harus efektif bisa menjangkau sebanyak mungkin destinasi dengan meminimalisir kesasar atau buang waktu muter-muter di jalan.
- Jam buka sebuah destinasi. Ini penting banget diperhatikan karena sayang kalau kita sudah jauh-jauh ke situ ternyata tempatnya tutup.
Ujian-ujian.
"Ojo dingini kerso." Ujaran Bapak (Almarhum) yang selalu saya ingat. Artinya, jangan mendahului kehendak Allah. Jangan terlalu percaya diri sesuatu berjalan sesuai keinginanmu, karena Allah lah yang menentukan akhirnya. Euforia membuat saya lupa. Dan Allah menegur saya. Intinya, jangan heboh pamer mau jalan-jalan, karena belum tentu berangkat. Nah lho!
Rencana sudah licin. Tapi ternyata Mas Ari belum fix ijin kantornya untuk berangkat. Eaaaa... siapa yang enggak deg-degan. Ijin kantor Mas Ari keluar 2 minggu sebelum Day D. Dan saya pun mengajukan cuti untuk saya sendiri dan anak-anak. Untung pimpinan saya menyetujui. Akhirnya kami membeli tiket AirAsia. Mas Ari dibelikan kantor, dan selebihnya beli dengan biaya sendiri.
Ujian berikutnya, Passpor Mas Ari hampir kadaluwarsa. Ya Allah, gimana ini. Tiket sudah ditangan tapi lupa intip tanggal masa berlaku paspor. Mas Ari pun segera mengurus perpanjangan paspor. Biasanya layanan paspor beres dalam 3 hari, lha kok ndilalah lagi ada perbaikan sistem secara nasional sehingga kapan beresnya paspor tidak bisa ditentukan.
Hingga H-5 paspor belum selesai. Saya nangis duluan, membayangkan tiket pesawat PP berempat yang hangus karena gagal berangkat. Saya pun 'bertransaksi' dengan Allah dalam bentuk nadzar jika paspor selesai hari itu akan memberi uang makan 1x untuk tukang becak di kampus. Ternyata paspor belum selesai. Lantas saya berpikir, apakah nadzar yang saya lakukan terlalu ringan, sementara saya mampu? Saya pun menaikkan niat nadzar menjadi 3xlipat. Dan pada H-3 sebelum berangkat paspor selesai. Alhamdulillah... Ya Allah.
Ini saya anggap teguran. Terimakasih Allah telah menegur kami untuk tidak sombong mendahului takdir. Terimakasih Allah untuk menegur kami bahwa bernadzar itu untuk tidak terlalu ringan, jika kita memang masih mampu. Berikan penawaran terbaik yang kita bisa.
Bangkok, here we come.
Sabtu, 10 November 2018, kami berangkat dengan Airasia jam 7.15, tiba di Don Mueang Airport jam 10.30. Kami langsung menuju Nouvo City Hotel dengan taksi. Kena mahal bo, ya dimana-mana sama aja kalau yang namanya harga bandara pasti mahal. Untuk perjalanan hanya 30 menit kami kena 900 THB alias sekitar 420 ribu rupiah (Kurs 1 THB = 465 Rupiah).
Day 1 :
- Menuju Nouvo City Hotel di Samsen Road. Suasana jalan kecil yang terkesan klasik, vintage, perkampungan penduduk yang rapi, banyak cafe dan penginapan untuk backpacker. Kampung sederhana ini banyak berisi wisatawan bule. Mungkin suasananya mirip-mirip Yogya atau Bali kali ya. Kami pun jatuh cinta pada Samsen Road.
- Jalan kaki ke Kareem Mataba untuk makan siang, berseberangan dengan benteng Phra Sumen Fort. Sepanjang jalan banyak spa pijat dan taylor (tukang jahit). Berhubung waktu cek in masih sekitar satu jam lagi, kami jalan-jalan dulu. Untung saya sudah tau tempat makan halal di kawasan itu, yaitu Kareem Mataba! Modal mengikuti direksi dari Google Map, kami akhirnya menemukan warung sempit (tapi 3 lantai lho) yang menjual martabak, roti dan kari. Untuk pertama kalinya makan di Bangkok, cieee..
- Dinner di Asiatique, naik taxi 300 THB. Di Asiatique sedianya kami ingin cari makan, tapi ternyata susah juga ya pilih-pilih. Kami tidak menemukan makanan yang dipastikan halal. Malah yang terlihat ada buaya guling dan kalajengking goreng. Biar aman, walau tidak 100% aman, kami memilih nasi dan kerang rebus. Bismillah saja, Insya Allah halal. Di Asiatique ini saya berburu tas BKK Original sebanyak 15 buah dan aneka souvenir dompet murah untuk teman-teman Asa Cinta. Jumlahnya banyaaak.. hahaha. Berhubung ke sini malam, jadi tingkat kekalapan bebelanja berkurang.
Menikmati Thai Tea asli di Kareem Mataba |
Day 2
- Minggu pagi usai sarapan di hotel, kami naik taxi ke Pasar Chatuchak. Harus hari ini karena pasar ini hanya buka Sabtu dan Minggu. Benar seperti review orang-orang, pasarnya luas, terdiri 15.000 lapak. Ini katanya, saya tidak menghitung sendiri hihi. Saya langsung ke lapak sasaran yang telah saya kepoin instagramnya dan telah saya tandai posisinya di google map. Efektif banget, ikuti google map langsung ketemu. Di sini belanja baju dan sabun lucu aneka bentuk. Kami enggak lama-lama di sini karena tidak terlalu banyak yang ingin dibeli.
- Siangnya kami balik ke hotel, mampir dulu di 7 eleven untuk membeli cemilan buat ganjal perut. Ternyata sorenya sudah kelaparan, akhirnya room service hotel, kami memesan Pad Thai (mie goreng) dan Khao Pad (nasi goreng). Enaknya gini nih kalau menginap di hotel halal.
- Habis magrib kami jalan ke Khaosan Road, hanya 500 meter dari hotel. Kami mengikuti arus bule-bule yang juga berjalan ke arah sana. Khaosan road adalah sebuah jalan yang di kanan kirinya banyak resto dan kafe, juga tempat pijat berjajar di pinggir jalan. Banyak juga kios tempat pembuatan tatto dan henna di sini.
- Tidak menemukan makanan yang cocok, akhirnya kami beli ikan bakar bumbu asem-asem yang dijual pedagang kaki lima. Ikan gurame bakar 70 THB dan ikan tongkol bakar 50 THB. Cukup murah.
Day 3.
- Hari terakhir di Samsen Road, pagi hari usai subuhan saya mengajak Cinta keliling kampung jalan kaki. Sekali lagi, saya benar-benar suka suasananya.
- Ke Grand Palace dan Wat Pho adalah agenda wajib hari ini. Besok suami sudah mulai meeting kerja. Kami ke sana naik tuk-tuk. Jarak hotel ke grand palace hanya 1 km. Biaya masuk Grand Palace 500 THB per orang dan biaya Wat Pho 50 THB.
- Di sini kami hampir kena tipu calo. Dia bilang kalau istana tutup sampai jam 13.00 jadi sebaiknya kami keliling ke destinasi lain dulu selama 1 jam, dan biayanya 2000 THB per orang. Kami menolak dan memilih tetap ke Istana dan Wat Pho. Ternyata modusnya begitu, bilang enggak boleh masuk, atau belum jamnya dan wisatawan diarahkan ke dermaga perahu kecil untuk diajak keliling. Hati-hati ya teman-teman, sebelum ke sini kudu tahu destinasinya dan punya pendirian. Hehehe.
- Sore harinya kami pindah hotel ke Swissotel Le Concorde di kawasan Ratchada, karena di situlah tempat suami meeting.
Day 4.
- Petualangan sesungguhnya dimulai. Saya, Asa, Cinta keluyuran. Agenda hari ini adalah ke MBK Plaza. Kami berangkat naik MRT. Kebetulan hotel Swissotel bersebelahan dengan stasiun Huai Kwang. Biaya MRT jauh lebih murah, sekitar 16 THB tergantung jarak. Kami turun di Stasiun Sam Yan. Asa seneng banget dengan pengalaman MRT ini. "Setani Topai..Setani Topai.. Samyan" Artinya "Stasiun berikutnya, Samyan". Dari stasiun kami masih jalan kaki dan ternyata agak jauh, yaitu 1 km menyusuri kampus Universitas Chulalongkron. Gempor sih, tapi seru. Toh trotoarnya nyaman dan suasana baru yang menyenangkan.
- Di MBK kami tidak banyak belanja. Hanya beli cemilan dan beberapa kaos Bangkok. Di sini kami makan di Yana Restaurant, restoran halal, pemiliknya dari Melayu. Pertama kalinya sejak 4 hari Asa baru menemukan ayam goreng. Bahagianyaaa...
- Menjelang sore kami pulang naik bis. Ternyata kami harus menunggu di halte yang tulisannya sesuai dengan nomor bis yang ditunggu. Setelah dapat bis yang menuju hotel, kondekturnya memberi tahu dengan bahasa Thai kalau bis ini hanya sampai Victory monument, dan kami harus menyambung bis lainnya. Saya sih nebak-nebak aja dari bahasa tubuhnya bahwa kita disuruh turun. Saya baca google maps lagi untuk tahu nomor bis alternatif. Tapi kita harus menyeberang jalan dulu untuk mendapatkan semacam terminal. Setelah dapat naiklah kita. Eh, bis berikutnya ini juga ternyata tidak lanjut sampai depan hotel, kami masih harus jalan 500 meter lagi. Tapi tetap seru, banyak yang dilihat. City tour dengan bis ini membuat saya bisa melihat-lihat pasar basah yang jarang diulas oleh traveler blogger.
Day 5.
- Ke Lumphini Park naik MRT. Tidak ada tiket masuk alias free. Taman ini sejuk, tenang, cocok untuk olahraga lari. Beberapa bule terlihat masuk sini juga. Kami asyik berfoto di depan danau, namun ternyata...jeng..jeng..ini adalah taman biawak !!! Pergerakan di danau yang semula kami kira ikan ternyata adalah biawak. Oh no.. langsung kami berusaha mencari jalan keluar yang cukup jauh. Seru..kalau saja saya tahu sebelumnya kalau Lumphini adalah taman biawak, mungkin saya tidak akan pernah kesini. Untung belum tahu.
Baca : Cerita ke Lumphini Park - Selanjutnya kami naik bis ke SIAM Paragon. Turunnya persis di depan MBK lalu jalan kaki 500 meter ke SIAM Paragon. Buat saya mall ini kurang menarik karena yang dijual barang-barang branded. Jujur mau masuk counternya aja enggan gitu. Di Siam Paragon kami ke Sealife Aquarium yang mirip dengan Seaworld Ancol (lebih luas Ancol). Di sini kami tidak berani makan berat karena tidak jelas kehalalannya. Saya dan anak-anak cuma beli Coconut Ice Cream dan Thai Tea (lagi) hehehe. Cinta di sini menemukan apa yang dicarinya yaitu DVD KPOP di Power Mall. Jangan kalap ya Cin.. harganya lebih mahal dari beli pre order langsung via Indonesia.
- Malam hari, berempat kami makan malam di Usman Muslim Thai Restaurant. Kami naik MRT lanjut jalan kaki di kawasan Sukumvit. Alhamdulillah, bisa makan enak lagi.
Day 6.
- Merasa tinggal hari ini leluasa jalan-jalan, usai berenang kami jalan-jalan di Big C yang tak jauh dari hotel. Hanya 700 meter. Jadi kami jalan kaki saja berangkatnya. Tapi ternyata gempor juga. Mungkin efek akumulasi jalan-jalan 5 hari sebelumnya hehehe. Pulangnya kami naik MRT yang hanya menempuh 1 stasiun saja. BIG C ini mirip banget dengan Giant kalau di Indonesia. Susunan raknya pun mirip. Apa sodaraan ya? Di sini saya beli sepatu murah dan cemilan lagi.
- Siangnya istirahat di hotel dan memesan delivery food dari Usman Muslim Thai Restaurant lagi. Asa memesan ayam goreng, Cinta pesan calamary dan saya pesan Manggo Sticky Rice alias ketan mangga.
- Malamnya, suami dan Asa sudah nyerah untuk jalan-jalan lagi. Sementara saya masih nafsu. "Kan belum ke pasar malam Rot Fai Market Ratchada" rengek saya. Dekat kok, satu stasiun aja. Akhirnya hanya Cinta yang mau menemani. Kami ke situ sebentar saja, saya cukup melihat suasananya dan pulang membeli kerang dan udang.
Day 7
- Jumat 16 November 2018, jam 8 kami cek out, lalu naik taksi ke Bandara Don Mueang. Selama di taksi semua sudah ngantuk (padahal masih pagi). Kayaknya efek anti klimaks, mau pulang sudah tak punya target hehehe.
- Penerbangan Air Asia jam 11.25 tepat waktu dan tiba di Jakarta 15.00 dengan selamat. Alhamdulillah.
Ujian lainnya, Cincin yang Hilang.
Sebelum berangkat ke Bangkok, saya mengenakan cincin warisan Ibu yang biasanya hanya saya simpan. Cinta bertanya, "Tumben Mama pakai cincin itu?"
"Buat jaga-jaga kali di Bangkok kurang duit," seloroh saya. "Lagian kalau emas di simpan saja kena zakat, Cin, kalau digunakan enggak kena zakat. Intinya Islam mengajurkan tidak menimbun harta tanpa digunakan.
Apa yang terjadi kemudian? Saat melewati toko-toko perhiasan di Kawasan Samsen, terbersit keinginan saya membeli perhiasan lokal, tapi apalah daya rupiah kita terlalu jauh mengejar nominal baht. Saya hanya bisa mengagumi perhiasan itu lewat etalase. Sambil jalan, saat itu pula saya lirik cincin pemberian Ibu di jari tangan, dan.... sudah tidak ada lagi cincinnya. Entah kapan hilang dari jari saya.
Astaghfirullah, langsung saya teringat niat saya memakai cincin tersebut, "biar tidak kena zakat".
Menerima keberagaman.
Untuk ke sekian kalinya saya menjadi minoritas (muslim) di sebuah wilayah. Jadi minoritas itu enggak gampang. Jadi tau kan susahnya memahami adat istiadat masyarakat yang berbeda.
Bangkok, selain penduduk asli yang mayoritas Budha, hampir setengahnya adalah wisatawan. Sudah jadi kota Internasional. Beragam bahasa dan warna kulit.
Di sini walaupun babi panggang bertebaran, saya wanti-wanti anak-anak untuk tidak mengernyit atau menunjukkan ekpresi jijik. Biarin aja, yang penting bukan kita yang makan.
Di sini, walaupun banyak orang pakai tank top berjalan-jalan, tetaplah berekpresi biasa. Jangan melirik apalagi menunjuk-nunjuk. Gitu saya bilang ke anak-anak, terutama Asa yang suka heboh.
Sebelum berangkat ke Bangkok, saya mengenakan cincin warisan Ibu yang biasanya hanya saya simpan. Cinta bertanya, "Tumben Mama pakai cincin itu?"
"Buat jaga-jaga kali di Bangkok kurang duit," seloroh saya. "Lagian kalau emas di simpan saja kena zakat, Cin, kalau digunakan enggak kena zakat. Intinya Islam mengajurkan tidak menimbun harta tanpa digunakan.
Apa yang terjadi kemudian? Saat melewati toko-toko perhiasan di Kawasan Samsen, terbersit keinginan saya membeli perhiasan lokal, tapi apalah daya rupiah kita terlalu jauh mengejar nominal baht. Saya hanya bisa mengagumi perhiasan itu lewat etalase. Sambil jalan, saat itu pula saya lirik cincin pemberian Ibu di jari tangan, dan.... sudah tidak ada lagi cincinnya. Entah kapan hilang dari jari saya.
Astaghfirullah, langsung saya teringat niat saya memakai cincin tersebut, "biar tidak kena zakat".
Menerima keberagaman.
Untuk ke sekian kalinya saya menjadi minoritas (muslim) di sebuah wilayah. Jadi minoritas itu enggak gampang. Jadi tau kan susahnya memahami adat istiadat masyarakat yang berbeda.
Bangkok, selain penduduk asli yang mayoritas Budha, hampir setengahnya adalah wisatawan. Sudah jadi kota Internasional. Beragam bahasa dan warna kulit.
Di sini walaupun babi panggang bertebaran, saya wanti-wanti anak-anak untuk tidak mengernyit atau menunjukkan ekpresi jijik. Biarin aja, yang penting bukan kita yang makan.
Di sini, walaupun banyak orang pakai tank top berjalan-jalan, tetaplah berekpresi biasa. Jangan melirik apalagi menunjuk-nunjuk. Gitu saya bilang ke anak-anak, terutama Asa yang suka heboh.
Perjalanan 7 hari di Bangkok usai. Banyak biaya-biaya dikeluarkan. Banyak ujian-ujian. Suami saya bilang "Aku tidak merasa rugi dengan biaya yang dikeluarkan, karena apa yang kita dapatkan dari perjalanan ini luar biasa berharga."
***
Tulisan lainnya lebih detil akan dibuat terpisah. Nantikan ya.
Alhamdulillah, akhirnya berempat sampai Bangkok! What next? ^_^
BalasHapusDan setuju banget dengan statement tentang keberagaman. Perasaan jadi "minoritas" sejatinya akan melahirkan pemahaman yang berujung pada toleransi. Pelajaran sekolah kehidupan lewat modul jalan-jalan yang tidak akan diperoleh dari bangku pendidikan formal.
Jadi, mari kita jalan-jalan lagi ke mana.
Next mau ke samsen road lagiii
HapusYuuuuuk....
BalasHapusNabung...nabung...jadi kepengin ke Bangkok nih baca cerita panjang ini.
Ternyata banyak ujian ya mbak sebelum hari H dan pas disana.
Alhamdulilah langsung diganti scoopy ya mbaak.
waaa asik seru banget bikin itenary jalan2 bareng keluarga.
BalasHapusaku pun kemaren mendadak umroh. travel ujug2 mendadak itu menyenangkan yaa hehehe
moga cincin yg hilang diganti rejeki yg lebih ya mba, aamiin eh udah ya pan dari menang hadiah :)
Wah serunya jalan2 ke bangkok...alhamdulillah ujian kehilangannya terganti
BalasHapusJadi penasaran Sama Bangkok, mau ke Sana gak jadi2, asik banget bareng Sama Pak suami meeting plus wisata keluarga, aku juga sama mbak kalau mau pergi mesti ada yg biking deg2an, soal paspor juga pernah karena ganti paspor, alhamdulillah kalau memang sudah rezeki akhirmya ke Bangkok juga
BalasHapuswahya senangnya jalan2 jadi kabita euy
BalasHapusEnaknya bisa jalan2 sampai ke bangkok
BalasHapussudah lama sekali saya tidak main ke blognya mbk arin...
BalasHapuskeren mbk arin bisa ke bangkok, hmm jadi pingin jj keluar negeri juga
padahal yak padahal belum punya paspornya
Perjalanan 7 hari yang menggembirakan. Sekaligus membuat pembaca ingin ke Bangkok juga ��
BalasHapus.. Kalau dilihat dari foto foto di atas, sepertinya Bangkok bagus untuk destinasi wisata LN. Cuma yaa seperti yang dibilang tadi, Nilai tukar Rupiah ke mata uang di sana cukup membuat gerah.
So, belajar dari kisah di atas, maka persiapkan dulu budget yang cukup dan tiru tips persiapan berangkat bak Arin. Biar selamat sentosa dan ingin ini itu pun bisa di Bangkok.