Langsung ke konten utama

Yang Real Diakui, Cegah Manipulasi


Sebagai PNS, saya merasa prihatin bahwasanya instansi-instansi Pemerintah menjadi tudingan utama kasus-kasus korupsi. Duh, telinga ini panas jadinya. Apalagi posisi saya sebagai bendahara ini kenyang dengan kecurigaan dan buruk sangka. 

Saya tidak akan berbicara korupsi tingkat tinggi yang terjadi di kalangan atas. Saya hanyalah PNS biasa. Saya mencermati apa dan bagaimana terjadinya "manipulasi" dalam pembelanjaan sehari-hari. Walaupun sejauh saya ingat tidak pernah terjadi dalam pekerjaan saya, namun ide-ide, godaan-godaan ataupun cerita-cerita ini seringkali berseliweran di sekitar saya. 

Saya tidak mengatakan bahwa manipulasi selalu identik dengan korupsi. Namun harus diwaspadai bahwa manipulasi bisa mengarah pada korupsi. Manipulasi bisa menjadi bibit korupsi.

Ini adalah contoh kasus dalam pembelanjaan sehari-hari. Misalnya saja dalam sebuah kegiatan di luar dari rutinitas. Ada pos-pos pembelanjaan yang real, memang dibutuhkan untuk jalannya sebuah kegiatan, namun pos tersebut tidak bisa diklaim sebagai bagian dari akun (baca =jenis) belanja. Sebuah pembelanjaan dianggap valid jika ada nota, cap toko. Dalam jumlah diatas 1 juta barus ada NPWP toko atau perusahaan.

Contoh konkritnya, dalam proses pembelian barang, panitia perlu biaya transportasi, membeli makan dan minum di warung pinggir jalan yang tidak punya bukti nota apalagi tidak punya stempel perusahaan. Serba salah, makan di Warung Tegal, resikonya tidak kuitansi atau stempel, belanja tidak bisa diakui. Tetapi kalau makan di restoran, harganya kemahalan, melebihi budget. Begitupun naik angkutan umum, tentu tidak ada bukti belanjanya, tetapi kalau mau naik taxi biayanya kemahalan. Sedangkan kita harus memegang prinsip kesederhanaan. Bagaimana dong?

Atau misalnya dalam pelaksanaan kegiatan butuh bantuan tenaga di luar kepanitiaan, misalnya kurir dan tenaga kebersihan. Kenapa butuh? Karena jumlah panitia dibatasi. Otomatis harus membayar honornya tenaga luar tadi. Tetapi karena yang bersangkutan tidak tercantum dalam struktur kepanitiaan lantas tidak bisa diklaim honornya walaupun hanya sedikit, misalnya 100-200 ribu rupiah saja. Mau diambilkan darimana? Mengambil jatah honor panitia lain yang juga tidak tinggi (maksimal Rp.450.000 dalam standar biaya umum). Memangnya ini kerja sosial tanpa bayaran?

Sudah pasti pengeluaran "sedikit-sedikit" ini tidak bisa diklaim karena bukti pertanggungjawaban tidak valid. Tapi jangan salah, padahal pembelanjaan "sedikit-sedikit" ini kalau diakumulasikan cukup banyak. Nah, siapa yang akan menanggung? Bendahara? Panitia ? Atau atasannya yang nombok dari kantong pribadi? Atau setiap kegiatan akan berjalan tersendat dan tertunda karena rumitnya birokrasi pertanggungjawaban keuangan? 

Dari sini lantas muncul ide "kreatif" penyelamatan dana demi kegiatan berjalan lancar. Untuk meng-kover belanja yang tidak ada bukti pertanggungjawabannya, terpaksa "dititipkan" pada belanja lainnya. Misalnya, menitipkan pos biaya makan di pinggir jalan, yang sedikit tadi, pada rekanan catering yang menyuplai konsumsi utama pada acara. Atau menitipkan honor non panitia pada kuitansi pembelanjaan barang lainnya. 

Ini memang manipulasi. Apakah ini termasuk korupsi? Seringkali deskripsi menjadi bias. Manipulasi kecil-kecilan ini dilakukan untuk mengkover biaya-biaya real yang tidak ada bukti pertanggungjawabannya. Real, tapi tidak diakui. Begitulah, yang belanja real tapi tidak dipercaya, akhirnya terpaksa dilakukan manipulasi agar tidak nombok. 

Kenapa yang real dibuat sulit pertanggungjawabnnya? Kenapa berderet persyaratan rumit diberlakukan untuk pembelanjaan sekecil apapun. Iya, maksudnya mau mencegah korupsi. Tapi ada dampak lain yang timbul, kita dipaksa memanipulasi. 

Kecil memang jumlah yang dimanipulasi. Itupun bukan untuk dikantongi sendiri. Melainkan agar panitia tidak nombok saja.

Kecil pada awalnya. Niat awalnya tidak neko-neko. Hanya agar tidak nombok saja.

Tapi sadarkah, keahlian manipulasi pun berkembang. Yang real tidak diakui, kita terpaksa manipulasi. Dari kecil yang berhasil, muncul keberanian baru, kenapa angkanya tidak diperbesar? 

Inilah bibit korupsi. 

Jadi lingkaran setan. Yang real tidak dipercaya. Yang real terpaksa dimanipulasi. Dari manipulasi berkembang korupsi. Dari korupsi aturan pertanggung jawaban diperketat lagi. Belanja ini itu semakin banyak rambu-rambunya. Begitu saja terus.

Coba roda diputar ke arah sebaliknya. 
Aturan belanja dipermudah dengan tetap melihat azas kepatutan. Kepercayaan ditumbuhkan kembali. Panitia pelaksana tak perlu merasa takut rugi. Belanja real diakui. Silakan belanja hemat, boleh tanpa kuitansi. Tak perlu manipulasi, tak perlu nitip-nitip kuitansi, nilai apa adanya akan diganti. 

Ibarat anak kecil, jika sedikit-sedikit dimarahi, jadinya enggan untuk jujur. Lebih baik diam atau tidak melakukan apa-apa.
Jadi sebaiknya gimana?

Ya, yang real diakui, apa adanya, tidak dicurigai melulu, demi mencegah manipulasi, berantas bibit korupsi.

***

Referensi : Dari cerita-cerita orang-orang, teman, kolega, kenalan yang banyak ditemui. Tidak bisa didefinisikan satu persatu. Rahasia umum masyarakat.

Repost for good.

Komentar

  1. haduhhh mak, ngerti saya maksudnya, alhamdulillah saya di lapangan jadi jauh dari yg begitu2, manipulasi maksudnya, tapi kadanggg yah melihatnya yah begitulah.... setuju dengan yg real diakui supaya ga ada manipulasi dan jadi korupsi, jadi inget gak punya bapak, adanya ibu pemimpin aja di kab bogor

    BalasHapus
  2. Gara-gara korupsi, yang jujur pun jadi tidak dipercaya :p

    BalasHapus
  3. di sebelah rumahku desa mak, kalau ada rapat belanja ke warung harganya suka di markup.. meski cuma 1000-2000 tapi banyak dan sering... ini baru di desa, apalagi di kota... serem

    BalasHapus
    Balasan
    1. karena ya itu tadi, banyak pembelanjaan yang tidak dicover. Jadinya pelaksana kegiatan nombok.

      Hapus
  4. Tulisan yg masuk akal, mak.. Selama ini memang seperti itu. Niat memberantas korupsi malah menumbuhkan bibit korupsi (=ketidakjujuran)...

    BalasHapus
    Balasan
    1. That's the point! gara2 koruptor kelas kakap, yg semua jadi gak dipercaya

      Hapus

Posting Komentar