Langsung ke konten utama

Debut Jadi Editor Buku



Setelah sekian lama, saya kurang menyambangi dunia literasi, tiba-tiba awal Mei lalu Mas Joko (Kakak ke 5) meminta saya untuk membimbing penulisan buku untuk guru-guru yang yang saat ini jadi "anak bimbingnya".

Jadi ceritanya, Mas Joko ini menjadi Pembimbing Praktik pada program Guru Penggerak Batch 4 yang diselenggarakan oleh Kemdikbud Ristek. Mas Joko bertugas membimbing satu kelompok Guru Penggerak yang terdiri dari 6 orang guru-guru SD-SMK di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan.

Mentang-mentang Adiknya suka menulis, lantas dikenalin deh ketua kelompoknya dengan saya🤭

Keenam guru penggerak ini ingin membuat buku antologi tentang perjalanan mereka mengikuti pelatihan selama 235 hari yang sudah berjalan dari totalnya sekitar 9 bulan. Mereka meminta pembimbingan saya, gitu awal mula akadnya.


Saya pun menyanggupi untuk buku antologi, karena ingin men-challenge diri sediri yang lama vakum dari literasi. Lalu saya minta mereka mengumpulkan tulisan minimal 50 halaman. Saya sampaikan bahwa saya hanya punya kontak dengan IPB Press, dan nantinya akan diterbitkan secara mandiri, dengan ISBN. Kami para civitas akademika IPB university sudah biasa menerbitkan sendiri melalui IPB Press. Alasan utama, karena menerbitkan secara mandiri lebih mudah, tanpa proses seleksi, dan lebih cepat tentunya. Buku bisa dicetak sesuai jumlah yang diperlukan saja, untuk kalangan terbatas, dan tentu saja biayanya lebih tinggi karena oplah sedikit.

Dan berhubung dikasih tempo 1.5 bulan buku ini terbit, saya juga tidak punya pilihan lain selain IPB Press agar prosesnya cepat.

Nb. Saya sudah pernah menerbitkan buku melalui Bhuana Ilmu Populer (anak perusahaan Gramedia Pustaka Utama) dan prosesnya tidak sebentar dari awal pengajuan naskah, editing dan penerbitan.  Sebuah kebanggaan ini dapat dibaca di  link berikut: https://asacinta.blogspot.com/2015/01/catatan-penulisan-mommylicious-dari.html

Menjadi editor itu belajar memahami buah pikiran orang lain. 

Ini saya rasakan ketika draft buku dari para guru penggerak ini jadi. Di luar dugaan saya, draftnya terdiri dari  300 halaman. Wow. 

Wah bagus dong, 300 halaman, langsung banyak, begitu mungkin pikiran pembaca.

Justru tidak begitu.  300 halaman kalau itu karya Sidney Sheldon, atau Sandra Brown, atau Marry Higgins Clark mungkin akan dibaca tuntas dalam 3 hari. Tapi ini beda. Ini tentang sesuatu yang saya belum familiar sebelumnya. Tentang teknik-teknik kependidikan, dan ditulis dari hasil mengikuti pelatihan. 

Ya, intinya begitulah, saya sulit menjelaskan, nanti terlalu vulgar. Kalau pembaca belum paham, sini saya kirimi draft-nya dan rasakan sensasinya hehe.

Pada awal bimbingan saya sebenarnya sudah meminta mereka menuliskan "kisah pribadi" atau "pengalaman berkesan' yang ditemui selama pelatihan dan di sekolah  dengan murid-muridnya. 

Saya kira, akan seperti buku Laskar Pelangi sebegitu menariknya menulis tentang kisah sekolah anak-anak Belitung. Bayangan saya akan seperti itu. Tetapi, ternyata belum. Ke arah sana pun, belum.

Ada 6 guru = 6 penulis. Masing-masing menceritakan pelatihan yang sama yang diikutinya, dalam waktu yang sama dan materi yang sama.  Saya seperti membaca sebanyak 6 kali materi pelatihan. 

Saya pun melakukan komunikasi-komunikasi by WA dengan ketua tim penulis. Saya berusaha mencari pemahaman dari satu tulisan ke tulisan lainnya. 


Pada penulis pertama saya masih meraba-raba ke arah mana tulisan ini. Apalagi penulis pertama tidak memperkenalkan diri, dan minim prolog tentang apa, siapa dan bagaimana guru penggerak ini.  Sampai-sampai saya searching nama penulis, barangkali beliau adalah seleb atau orang terkenal yang sudah banyak infonya di internet, ternyata tidak ada info tentangnya. Akhirnya saya minta penulis menambahkan prolog tentang dirinya. Namun sayang, penulis pertama ini tidak memberikan keterangan yang saya harapkan ada. Baiklah, sebagai editor saya juga tidak bisa memaksa.

Penulis kedua, ketiga, keempat lebih bisa saya pahami. Tulisannya sederhana. Banyak memindahkan materi ke dalam buku. Walaupun tulisan antara mereka serupa, karena memang membahan yang sama. Saya seperti mengulang-ulang materi pelatihan selama berkali-kali. adi seperti mengulang materi pelatihan saja. Minim cerita pribadi.  Saya sudah minta revisi (melalui ketua tim) dan dijawab bahwa mereka sudah maksimal dengan tulisan yang ada. Oke, saya tidak bisa memaksakan juga. Lagi pula waktunya juga mepet, sehingga saya juga tidak bisa menunggu lama. 

Baru pada penulis terakhir, saya menemukan tulisan yang menarik dan bernyawa. Penulis terakhir ini menceritakan secara natural tentang kronologi karirnya sebagai guru dan bagaimana akhirnya menjadi guru penggerak. Penulis terakhir ini saya anggap yang paling bagus tulisannya. Untuk mendongkrak buku, akhirnya saya geser posisi penulis terakhir ini ke urutan kedua setelah ketua penulis.

Semua tulisan yang sudah saya edit saya kembalikan ke ketua penulis untuk direview kembali barangkali masih ada salah nama, tanggal, keterangan dan hal lainnya.


Jadi gimana hasil akhirnya?

Dari 300 halaman dibuat efektif menjadi 101 halaman, lebih ringan, dan nyaman dibaca. Mudah-mudahan setelah diedit kalimatnya, jadi lebih bisa dipahami tentang kisah mereka sebagai calon Guru Penggerak. Kegiatan ini sendiri masih berlangsung (sekarang sudah sampai Guru Penggerak batch 7), sehingga buku ini akan sangat bermanfaat bagi yang sedang dan akan mengikuti program tersebut.

Testimoni saya tentang buku ini:

“Menjadi editor buku ini membuat saya ikut merasakan betapa melelahkan, butuh energi perjuangan yang besar melawan rasa tidak percaya diri dalam menjalani 235 hari Pendidikan Guru Penggerak, tak lain karena rasa cinta pada siswa dan sekolahnya. Dengan semangat gigih, akhirnya para penulis berhasil melaluinya, mengambil manfaat serta menuangkannya dalam buku ini. Semangat yang luar biasa! “  Murtiyarini, SP – Penulis dan Blogger.



Hadirnya IPB Press sangat bermanfaat untuk civitas IPB dan siapapun.

Di kalangan penulis buku, tentunya tak asing dengan istilah penerbit mayor atau penerbit minor. Penerbit mayor adalah penerbit yang sudah besar dan buku-bukunya banyak beredar di toko-toko buku. Sedangkan penerbit minor atau indie adalah penerbit yang baru merangkak, dan menerbitkan bukunya secara mandiri, dipasarkan sendiri, dan kalaupun ada yang banyak peminatnya akan mampu menembus toko buku.

Nah, IPB Press termasuk yang mana?

Di sini kita tidak bicara mayor minor lagi. IPB Press membawa nama IPB yang sesuai namanya buku-buku yang diterbitkan sarat dengan ilmu-ilmu yang berkorelasi dengan penulisnya yang kebanyakan adalah dosen dan peneliti IPB University. Apakah melulu tentang pertanian? Tentu tidak, karena IPB sekarang sudah luas cakupan bidangnya, ada MIPA, Ekonomi manajemen, Ekologi manusia, Teknik Sipil dll. Intip sini untuk tahu koleksi bukunya : https://ipbpress.com/

Penerbitan IPB atau dikenal dengan nama IPB Press adalah perusahaan independen yang bergerak di bidang penerbitan buku bacaan. IPB Press berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dengan pemegang saham terbesar adalah Institut Pertanian Bogor (IPB)
IPB Press melayani penerbitan buku yang akan dijual melalui IPB Press store untuk buku yang sifatnya umum, atau dijual sendiri untuk kalangan terbatas misalnya prosiding, seminar, atau buku apapun untuk keperluan terbatas. Aturan biaya dan pembagian royaltinya diatus secara jelas. 

Buat yang ingin menerbitkan buku sendiri, dan mau pakai ISBN, di desainkan sampulnya, di layout-in isinya, maka IPB Press solusinya. Seperti yang saya lakukan pada Buku Guru Penggerak ini. Setelah di tulis dan saya edit sendiri, draft yang telah berurutan tata letak tulisan dan foto saya kirimkan by WA ke salah satu petugasnya. Saya minta desain cover dan lay out dari IPB Press. Karena bukan hal yang mudah dan cepat untuk menyelesaikan kedua hal tersebut. 

Tidak butuh waktu lama, desain dan layout sekitar 4-5 hari kerja, saya sudah mendapatkan draftnya untuk dikoreksi. Setelah oke, maka buku siap cetak.

Harganya tentu tergantung jumlah oplah. Karena saya hanya mencetak 60 buku, dan hasil akhirnya menjadi 130 halaman, ukuran B5, kertas sepert novel, kami dikenakan biaya 102 ribu per eksemplar.

Hmm, jadi tertarik untuk menerbitkan buku sendiri nih.

Finaly, saya memulai debut sebagai editor. Walau belum tersertifikasi dan jauh dari kata sempurna. Saya masih perlu banyak belajar. Debut ini baru sebatas membuat buku lebih nyaman dibaca. Saya menyadari belum bisa menyuntikkan nyawa / spirit dalam buku ini karena masih belum sepenuhnya memahami dengan baik materi dari penulis. 

Next kalau ada permintaan editing lagi, yang perlu menjadi catatan saya adalah bahwa sebaiknya editor dan penulis bertemu dan ngobrol panjang untuk menyamakan persepsi. Dan kedua, penulis juga harus menyadari bahwa editor bukan "penyulap' tulisan dari tiada menjadi ada, alias editor tidak menuliskan. Penulis harus membedakan antara editor dan ghost writer.

Masih mau editorin lagi? Mau. Untuk buku tema lainnya atau sejenis.





Komentar

Posting Komentar