Mobil innova yang kami naiki meluncur meninggalkan rumah Ibu. Dalam satu jam kami sudah jauh meninggalkan Trenggalek, kota kelahiranku, berjalan ke arah barat dan tak lama lagi akan meninggalkan propinsi Jawa Timur. Air mata ini masih menetes. Tak bisa kubendung derasnya meskipun kucoba bercanda dengan anak dan suami untuk mengalihkan pikiran.
Air mata ini keluar sejak berpamitan dengan Ibu. Usai sudah acara mudik tahunan. Sedih hati ini mengingat hanya setahun sekali kesempatan bertemu disaat lebaran. Ibu bersikeras menempati rumah peninggalan bapak, tak mau tinggal dengan salah satu dari 7 anaknya. Dengan alasan tak mau merepotkan anak, saat ini ibu lebih memilih ditemani oleh adiknya (bibi) yang juga sudah janda.
Mobil terus melaju melintasi jalan di tepi hutan jati di daerah sekitar Ngawi. Terlintas satu per satu kenangan masa lalu saat masih tinggal dengan ibu. Anak macam apa aku ini? Mengapa harus menunggu momen pasca perpisahan untuk mengingat segala wujud kasih sayang ibu? Kesabarannya...kelembutannya...ketulusannya... Kemana perasaan ini pada hari-hari biasa? Rutinitas sehari-hari rupanya telah menyita pikiranku, keluargaku, rumahku, pekerjaanku dan hanya sedikit menyisakan ingatan pada ibu. Maafkan anakmu ibu…
Sepanjang ingatanku, tak pernah sekalipun kulihat ibu emosi. Sudah kumaklumi jika ibu diam berarti ada dua kemungkinan, ibu sedang memikirkan sesuatu, atau ibu sedang marah pada kenakalanku. Dulu aku malu meminta maaf, sebagai tanda penyesalan kami hanya diam. Untungnya ibu sangat pemaaf dan mudah kembali dalam situasi normal, untuk kemudian mencium dan merangkulku.
Ibu yang tenang, selalu terlihat tegar saat menghadapi saat-saat sulit dalam rumah tangga. Beberapa kali kulihat ibu menangis ketika berselisih dengan bapak. Ketika saya tanyakan pada ibu apa yang terjadi, tidak pernah sekalipun ibu menyalahkan bapak, atau membela dirinya. Begitupun dengan bapak, dengan bijak menjelaskan kepada kami bahwa perselisihan adalah wajar dalam rumah tangga. Berselisih bukan berarti membenci. Begitulah usaha kedua orangtuaku untuk menjaga keutuhan jiwa anak-anaknya.
Matahari tepat di atas kepala. Perjalanan kami sudah sampai di kota Solo. Saatnya makan siang dan istirahat, terutama untuk suami yang menjadi solo driver. Kami memutuskan untuk makan di sebuah restoran. Suasana restoran yang ramai tak sepenuhnya mengalihkan pikiranku dari ibu. Kemarin aku masih bisa menikmati sayur daun singkong dan tempe goreng masakan ibu. Aku menelan ludah tanpa rasa, andai saja bisa kurasakan kembali masakan ibu siang ini.
Teringat dulu ibu pernah membuatkan kami telur dadar yang diaduk bersama dan dipotong segitiga. Kemudian salah seorang dari kami protes menginginkan telur dadar bulat, disusul permintaan yang sama dari yang lain. Kecerdasan ibu sebagai koki terbukti, 3 telur yang masih tersisa diaduk bersama dan ditakar dengan sendok sebelum dituang ke wajan. Terciptalah 7 telur dadar bulat, meskipun dengan ukuran yang (tentu saja) kecil. Ukuran tak masalah, yang penting bulat. Kami pun makan dengan lahap.
Perjalanan kami tepat pada puncak arus balik lebaran. Suamiku memandang deretan panjang mobil-mobil di depannya yang bergerak lambat.Diputarnya lagu-lagu Ungu untuk menghilangkan kantuk. Hari sudah malam ketika kami memasuki kota Semarang. Anak-anak sudah tidur. Sesekali suami mengajak bicara untuk mengalihkan kejenuhan. Kusodorkan padanya sebatang Gery Chocolatos yang telah kukeluarkan dari bungkusnya. Selebihnya kami lebih banyak saling diam. Sepertinya suami tahu pikiranku belum bisa jauh dari Ibu.
Sampai sekarang aku tak tahu pasti mengapa ibu memilih tidak bekerja. Sebenarnya bapak pernah menawarinya untuk membuka sebuah usaha. Hingga akhirnya aku meyakini bahwa sudah menjadi panggilan jiwa ibu untuk menjadi ibu rumah tangga penuh, demi merawat anak-anaknya. Padahal dari pilihannya tersebut, ibu harus menjalani konsekuensi dipandang masyarakat sebagai wanita kelas dua, lebih rendah status sosialnya dibanding wanita bekerja. Bahkan untuk membeli kebutuhan pribadinya, ibu tidak mudah melakukannya, meskipun bapak memberi kelonggaran mengatur keuangan. Itu karena ibu merasa harus menjaga uang keluarga dibanding menuruti keinginan pribadinya.
Bapak, seorang penjahit, mendaulat ibu sebagai menteri keuangan keluarga. Ibu terbukti amanah, ditangannya uang selalu tampak cukup. Aku memandangi penjual kue lewat, ibu belikan. Aku minta uang SPP sekolah, ibu siapkan esok harinya. Aku perlu buku sekolah yang harganya tidak murah, ibu menjanjikan 2 hari kemudian. Beranjak besar baru kutahu, bahwa ibu kadang kala meminjam ke tetangga atau menggadaikan perhiasan untuk keperluanku itu. Sarana dan prasarana sekolah adalah nomor satu, begitu prinsip orangtuaku. Pemikiran yang modern dan cukup mencolok karena berbeda dengan tetangga di lingkungan tempat tinggal kami saat itu mengingat perekonomian kami pas-pasan.
Selayaknya orangtua lain, ibu sangat bangga pada anak-anaknya. Kebanggaan ini dulu pernah membuatku merasa risih. Ketika aku SMA, ibu pernah mengambilkan raport. Dari awal aku sudah berpesan pada ibu untuk tidak memberitahukan nilai dan rangkingku pada teman-teman. Entah mengapa, meskipun biasanya masuk 5 besar, aku malu jika teman-teman tahu. Aku tak ingin dibanggakan. Tapi ternyata ibu tidak memegang janjinya, berita bahwa aku meraih rangking 3 menyebar diantara teman-teman sekelas, bahkan kelas tetangga. Kesal sekali aku waktu itu. Dalam beberapa hari tak ada percakapan, karena aku diam. Sampai akhirnya bapak mewakili ibu untuk meminta maaf karena saya betul-betul tak mau bicara. “Ibumu bangga padamu, Nak, dan ibu tak bisa menahan dan menyimpan rasa bangganya itu. Maafkan ibu ya Nak” begitu bujuk bapak. Perasaan ibu baru bisa kumengerti sekarang. Betapa sekecil apapun perkembangan anak-anakku Cinta dan Asa, begitu kubanggakan.
Ya, setelah 5 tahun aku merasakan menjadi seorang mama, sedikit demi sedikit kumengerti perasaan ibu dulu. Pantas saja dulu ibu selalu mengingatkanku makan pada waktunya, berulang-ulang sampai aku bosan dan seringkali bersikap cuek. Kupahami sekarang rasanya betapa kuatirnya seorang ibu jika si anak sakit, salah satunya gara-gara telat makan.
Ibu telah banyak berkorban untuk anak-anaknya. Benarkah? Benarkah aku berkorban untuk anak-anakku? Benarkah aku sudah sedemikian berjasa dan berkorban ? Sudah sebanyak itukah yang kulakukan? Telah berkorban apakah aku?
Apakah kebahagiaan dan ketulusan ini yang disebut pengorbanan? Ya, kebahagiaan dan ketulusan. Bahwa hilangnya kebebasan dan waktu pribadi adalah karena aku menginginkan kebersamaan dengan anak-anakku. Bahwa lelah yang kurasakan saat bermain dengan mereka karena aku menyukainya. Bahwa tarikan tangannya minta dibuatkan susu malam hari telah membuatku terasa berharga dan dibutuhkan. Dan mengajaknya tertawa adalah keinginanku untuk menghilangkan semua lelah hari itu. Segala pikiran yang kucurahkan untuk mendidik anakku tak lain demi harapanku agar kelak mereka menjadi pribadi yang bisa menjalankan kehidupan sebaik-baiknya.
Itu jugakah perasaan ibu pada kami anak-anaknya? Tidak merasa berkorban, tidak mengharap balasan. Yang ada adalah ketulusan. Dan kebahagiaan anak-anaknya adalah harapannya.
Aku meyakini, sebagaimana yang aku rasakan, Ibu tak menginginkan balasan atas jasanya yang memang tak berbalas. Kasih sayang ibu yang kuterima sepanjang hidupku, akan kuteruskan pada anak-anakku. Mungkin itulah balasan yang wajar yang bisa kulakukan.
Langit mulai terang kembali. Gerbang tol Jagorawi sudah terlihat, Bogor sudah dekat. Waktu sehari semalam tak cukup untuk mengingat kenangan manis bersama ibu. Sebentar lagi aku akan kembali pada rutinitas biasa. Keluargaku, rumahku, pekerjaanku... dan ibuku. Meskipun terpisah jarak, semoga lebih banyak hal yang bisa kuberikan untukmu, Ibu.
WAAH...MPE TERHARU BACA CERITANYA...
BalasHapusBAGUS BGET...
OH IBU...IBU...JADI PENGEN MEMELUKNYA ERAT-ERAT...
gitu kali ya perasaan anak-anak ke kita...
BalasHapus