Isu perburuhan masih hangat karena baru saja diperingati May Day. Untuk itu, dalam rangka mengoptimalkan momentum tersebut, perlu direfleksikan kondisi perempuan buruh, terutama mereka yang telah berumah tangga. Terdapat sejumlah alasan perempuan yang sudah berkeluarga harus atau tetap bekerja, misalnya, tuntutan ekonomi, keinginan untuk tetap berkarya, dan kebutuhan psikologis. Dalam pandangan tertentu, perempuan dianggap hanya baik bekerja dalam rumah. Ketika perempuan harus bekerja di luar rumah, dia dituntut menjaga agar karier dan keluarga tetap baik.
Bagi buruh perempuan, persoalan bekerja tidak hanya soal upah, jaminan sosial, kontrak kerja, outsourcing, atau hak-hak reproduksi. Hak-hak terkait peran keibuan bagi buruh perempuan masih jauh dari harapan. Benturan-benturan sering terjadi antara peran keibuan buruh perempuan dan aturan perusahaan. Misalnya, aturan perusahaan yang mewajibkan kerja lembur telah memosisikan buruh perempuan pada agen ekonomi yang harus tunduk pada batasan waktu kerja dan anggaran yang ditentukan perusahaan. Dalam kaitan itu, seorang perempuan harus memilih secara tepat antara bekerja di pabrik, di rumah, paruh waktu, atau penuh waktu.
Jumlah pekerja wanita di Indonesia saat ini sekitar 40 juta jiwa, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah ini, sekitar 25 juta di antaranya usia reproduksi (15-45 tahun). Perempuan umumnya bergerak di sektor primer (46,01%) dan tersier (39,62%), namun status pekerjaan terbanyak sebagai buruh sektor informal (54,82%). Kondisi buruh perempuan di sektor formal tidak selalu lebih baik dari perempuan yang berkecimpung di sektor informal.
Buruh sektor formal lebih sulit mendapat hak-hak reproduksi karena dianggap mengganggu produktivitas kerja perusahaan dan menyebabkan biaya produksi besar.
Tentu, bukan saatnya terus menyalahkan pilihan perempuan dan menjadikan dilema baginya untuk memilih antara bekerja atau keluarga. Ada dua fakta penting yang harus diterima, jumlah buruh perempuan di Indonesia cukup besar dan peran keibuan terutama. Yang terakhir ini sangat menentukan nasib bangsa mendatang. Buruh perempuan dan peran keibuannya adalah dua aset penting yang harus diperhatikan secara ekstra.
Hak-hak reproduksi perempuan menyangkut cuti haid, hamil, melahirkan, dan kesempatan untuk menyusui. Saat ini, masih terjadi benturan antara anak mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan (Undang-Undang No 39/2009 tentang Kesehatan, Pasal 128) dan hak cuti ibu melahirkan yang hanya 3 bulan (UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, disebutkan dalam Pasal 82). Tentu saja, dengan hak cuti yang singkat tersebut, program ASI eksklusif tidak mudah dilakukan.
Dukungan negara terhadap aktivitas hak ibu menyusui saat bekerja perlu diapresiasi. Bentuk dukungan tersebut terlihat dari peraturan-peraturan yang memberi kelonggaran dan fasilitas layak bagi ibu untuk menyusui bayi. Negara juga menjamin hak ibu menyusui agar dapat terus memberi ASI eksklusif selama 6 bulan meskipun harus sambil bekerja.
Menurut Konvensi ILO No 183 tahun 2000, Pasal 10 mengenai Ibu Menyusui dituangkan, "Perempuan harus diberi hak istirahat harian atau pengurangan jam kerja harian untuk menyusui anak."
Berapa lama waktu istirahat untuk menyusui atau pengurangan jam kerja harian ini diatur berdasarkan hukum dan kebiasan nasional. Istirahat dan pengurangan jam kerja harian ini harus dihitung sebagai jam kerja dan dibayar. Negara anggota wajib menjamin hak ibu menyusui untuk tidak bekerja. Kesempatan menyusui buruh perempuan telah dikukuhkan dalam Pasal 83 Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Penitipan
Menyusui di sela waktu bekerja hanya mungkin dilakukan jika di lingkungan perusahaan terdapat tempat penitipan anak yang memungkinkan buruh perempuan menjenguk anaknya. Jumlah perusahaan yang menyediakan tempat penitipan anak masih sangat sedikit. Dengan kondisi lingkungan kerja kebanyakan, tidak memungkinkan seorang buruh perempuan membawa anaknya ke tempat kerja agar bisa menyusui di tempat kerja.
Alternatifnya, perusahaan menyediakan pojok ASI, yaitu ruang khusus menyusui dan memerah ASI yang dilengkapi lemari es untuk penyimpanan ASI. Buruh perempuan dapat memerah ASI di kantor untuk dibawa ke rumah. Sewaktu menjabat Menteri Kesehatan, mendiang Endang Rahayu Sedyaningsih giat mengampanyekan pengadaan pojok ASI untuk wanita pekerja.
Kenyataannya, pada pertengahan 2011, baru terdapat 20 perusahaan besar yang menyediakan pojok ASI dari 200 ribuan perusahaan di Indonesia.
Perlu diingat, menyusui bukan hanya sekadar proses pemberian ASI kepada bayi, melainkan juga kelekatan keduanya. Ini hanya bisa terjadi saat pemberian ASI secara langsung. Kelekatan tersebut sangat penting demi perkembangan otak bayi karena akan memengaruhi kecerdasan intelektual dan emosionalnya. Negara-negara maju telah menyadari dengan sangat baik pentingnya peran keibuan pada bayi-bayi sehingga cuti melahirkan dan menyusui diberikan lebih lama.
Perjuangan buruh perempuan Indonesia untuk mendapat cuti menyusui dirasa masih jauh. Saat ini, masih pada tahap peningkatan jumlah pojok ASI, kemudahan izin menyusui, kemudahan izin perawatan anak sakit, dan pengurangan jam kerja untuk menjalankan peran keibuan. Peraturan-peraturan perundangan sudah ada, namun pelaksanaanya masih belum optimal. Maka itu, perlu sosialisasi lebih giat lagi tentang hak-hak reproduksi perempuan baik kepada buruh, serikat pekerja, maupun perusahaan demi mengurangi benturan-benturan yang sering terjadi. Pemerintah segera membuat peraturan-peraturan yang berpihak pada hak-hak reproduksi buruh perempuan serta mengawal impelementasinya di lapangan.
Oleh Murtiyarini
Penulis adalah staf pendidikan IPB
Kado untuk para buruh perempuan, pada moment May day ini, saya ingin sampaikan satu kepentingan buruh yang sering terabaikan, yaitu hak keibuan.
Tulisan berikut dimuat di Koran Jakarta 3 Mei 2012
Bagi buruh perempuan, persoalan bekerja tidak hanya soal upah, jaminan sosial, kontrak kerja, outsourcing, atau hak-hak reproduksi. Hak-hak terkait peran keibuan bagi buruh perempuan masih jauh dari harapan. Benturan-benturan sering terjadi antara peran keibuan buruh perempuan dan aturan perusahaan. Misalnya, aturan perusahaan yang mewajibkan kerja lembur telah memosisikan buruh perempuan pada agen ekonomi yang harus tunduk pada batasan waktu kerja dan anggaran yang ditentukan perusahaan. Dalam kaitan itu, seorang perempuan harus memilih secara tepat antara bekerja di pabrik, di rumah, paruh waktu, atau penuh waktu.
Jumlah pekerja wanita di Indonesia saat ini sekitar 40 juta jiwa, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah ini, sekitar 25 juta di antaranya usia reproduksi (15-45 tahun). Perempuan umumnya bergerak di sektor primer (46,01%) dan tersier (39,62%), namun status pekerjaan terbanyak sebagai buruh sektor informal (54,82%). Kondisi buruh perempuan di sektor formal tidak selalu lebih baik dari perempuan yang berkecimpung di sektor informal.
Buruh sektor formal lebih sulit mendapat hak-hak reproduksi karena dianggap mengganggu produktivitas kerja perusahaan dan menyebabkan biaya produksi besar.
Tentu, bukan saatnya terus menyalahkan pilihan perempuan dan menjadikan dilema baginya untuk memilih antara bekerja atau keluarga. Ada dua fakta penting yang harus diterima, jumlah buruh perempuan di Indonesia cukup besar dan peran keibuan terutama. Yang terakhir ini sangat menentukan nasib bangsa mendatang. Buruh perempuan dan peran keibuannya adalah dua aset penting yang harus diperhatikan secara ekstra.
Hak-hak reproduksi perempuan menyangkut cuti haid, hamil, melahirkan, dan kesempatan untuk menyusui. Saat ini, masih terjadi benturan antara anak mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan (Undang-Undang No 39/2009 tentang Kesehatan, Pasal 128) dan hak cuti ibu melahirkan yang hanya 3 bulan (UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, disebutkan dalam Pasal 82). Tentu saja, dengan hak cuti yang singkat tersebut, program ASI eksklusif tidak mudah dilakukan.
Dukungan negara terhadap aktivitas hak ibu menyusui saat bekerja perlu diapresiasi. Bentuk dukungan tersebut terlihat dari peraturan-peraturan yang memberi kelonggaran dan fasilitas layak bagi ibu untuk menyusui bayi. Negara juga menjamin hak ibu menyusui agar dapat terus memberi ASI eksklusif selama 6 bulan meskipun harus sambil bekerja.
Menurut Konvensi ILO No 183 tahun 2000, Pasal 10 mengenai Ibu Menyusui dituangkan, "Perempuan harus diberi hak istirahat harian atau pengurangan jam kerja harian untuk menyusui anak."
Berapa lama waktu istirahat untuk menyusui atau pengurangan jam kerja harian ini diatur berdasarkan hukum dan kebiasan nasional. Istirahat dan pengurangan jam kerja harian ini harus dihitung sebagai jam kerja dan dibayar. Negara anggota wajib menjamin hak ibu menyusui untuk tidak bekerja. Kesempatan menyusui buruh perempuan telah dikukuhkan dalam Pasal 83 Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Penitipan
Menyusui di sela waktu bekerja hanya mungkin dilakukan jika di lingkungan perusahaan terdapat tempat penitipan anak yang memungkinkan buruh perempuan menjenguk anaknya. Jumlah perusahaan yang menyediakan tempat penitipan anak masih sangat sedikit. Dengan kondisi lingkungan kerja kebanyakan, tidak memungkinkan seorang buruh perempuan membawa anaknya ke tempat kerja agar bisa menyusui di tempat kerja.
Alternatifnya, perusahaan menyediakan pojok ASI, yaitu ruang khusus menyusui dan memerah ASI yang dilengkapi lemari es untuk penyimpanan ASI. Buruh perempuan dapat memerah ASI di kantor untuk dibawa ke rumah. Sewaktu menjabat Menteri Kesehatan, mendiang Endang Rahayu Sedyaningsih giat mengampanyekan pengadaan pojok ASI untuk wanita pekerja.
Kenyataannya, pada pertengahan 2011, baru terdapat 20 perusahaan besar yang menyediakan pojok ASI dari 200 ribuan perusahaan di Indonesia.
Perlu diingat, menyusui bukan hanya sekadar proses pemberian ASI kepada bayi, melainkan juga kelekatan keduanya. Ini hanya bisa terjadi saat pemberian ASI secara langsung. Kelekatan tersebut sangat penting demi perkembangan otak bayi karena akan memengaruhi kecerdasan intelektual dan emosionalnya. Negara-negara maju telah menyadari dengan sangat baik pentingnya peran keibuan pada bayi-bayi sehingga cuti melahirkan dan menyusui diberikan lebih lama.
Perjuangan buruh perempuan Indonesia untuk mendapat cuti menyusui dirasa masih jauh. Saat ini, masih pada tahap peningkatan jumlah pojok ASI, kemudahan izin menyusui, kemudahan izin perawatan anak sakit, dan pengurangan jam kerja untuk menjalankan peran keibuan. Peraturan-peraturan perundangan sudah ada, namun pelaksanaanya masih belum optimal. Maka itu, perlu sosialisasi lebih giat lagi tentang hak-hak reproduksi perempuan baik kepada buruh, serikat pekerja, maupun perusahaan demi mengurangi benturan-benturan yang sering terjadi. Pemerintah segera membuat peraturan-peraturan yang berpihak pada hak-hak reproduksi buruh perempuan serta mengawal impelementasinya di lapangan.
Oleh Murtiyarini
Penulis adalah staf pendidikan IPB
Kado untuk para buruh perempuan, pada moment May day ini, saya ingin sampaikan satu kepentingan buruh yang sering terabaikan, yaitu hak keibuan.
Tulisan berikut dimuat di Koran Jakarta 3 Mei 2012
Komentar
Posting Komentar