“Bayi mau punya bayi ?” Begitu kata kakak ketika tahu saya hamil pertama, 7 tahun lalu.
Jleb, langsung mengena. Saya memang anak bungsu dan manja. Wajar jika diragukan kemampuannya menjadi Ibu. Untung, saat itu saya sedang berbahagia, jadi nggak sempat marah, hahaha.
Saya jadi mikir, bisa nggak ya membesarkan anak dengan baik?
Saya jadi mikir, bisa nggak ya membesarkan anak dengan baik?
Sadar jauh dari orangtua dan keluarga, sejak sebelum hamil saya banyak belajar dari majalah Ayahbunda dan Ayahbunda.co.id karena infonya komplit, up to date dan disertai konsultasi ahli. Memandang foto-foto bayi memunculkan naluri keibuan saya dan akhirnya memutuskan untuk hamil. Sekali buka pengaman langsung jadi. Manjur banget tips-tips agar cepat hamil dari Ayahbunda.
Walau jauh dari orangtua, lingkungan sekitar begitu “perhatian” ketika tahu saya hamil.
“Jangan makan durian dan kambing, nanti panas”. Hm, apanya yang panas? Batin saya.
“Orang hamil harus banyak makan sayur dan buah. “ Oke, bisa dimengerti.
“Makan 2 kali lebih banyak dari biasa, kan untuk berdua”. Waduh, gimana mau makan banyak, mencium bau masakan saja langsung mual.
“Jangan minum air dingin, nanti bayinya besar” O-ow, padahal saya paling enggak bisa minum tanpa air dingin.
Terus ada yang bilang “Nggak boleh berhubungan seks, takut keguguran.” Hehehe, kalau yang ini membuat suami saya manyun.
Gerah dengan nasehat-nasehat yang sulit dibedakan mana mitos mana fakta, saya mengembalikan pilihan pada diri saya, dengan merujuk pada Ayahbunda (link di sini). Yang penting saya tetap bahagia dan sehat selama kehamilan.
Akhirnya, saya dan suami menjadi orangtua dengan kelahiran Cinta. Ternyata, punya bayi itu tidak hanya membahagiakan, tapi juga merepotkan. Nah, sisi repot inilah yang dulu tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Begitu bayi saya sering menangis tengah malam, saya dan suami jadi kurang tidur dan lelah, ujung-ujungnya kami mulai saling melempar tugas.
Berusaha untuk tidak panik, sayapun kembali merujuk pada Ayahbunda. Suami juga jadi suka membaca Ayahbunda. Saat anak demam, kami memilih dokter anak yang komunikatif dan menerapkan pengobatan yang rasional, pengunaan antibiotik hanya saat diperlukan. Atau saat bayi menangis, saya coba lakukan saran Ayahbunda. Dan saat saya dan suami mulai "memanas", kami segera berdamai berbagi tugas. Alhamdulillah, hubungan suami istri tetap hangat dan kompak, walaupun sering ada interupsi dari si bayi. Ehm..
Walau tidak sempurna, saya merasa cukup “sukses” menjadi ibu. Cinta tumbuh dengan baik :
ASI ekslusif? Lulus, dan ASI lebih dari 2 tahun
Imunisasi? Lulus, plus imunisasi anjuran.
Belajar makan dengan MPASI? Lulus, lebih sering MPASI rumahan, sesekali pabrikan atau makan di luar.
Tumbuh kembang sesuai usia? Lulus, dengan beberapa pencapaian mendekati limit waktu.
Mengajarkan perilaku sopan, mandiri dan kreatif? Hm, not bad.
Menjadi ibu yang sabar? Nah, yang ini masih terus diusahakan.
Membuat anak bahagia? Yup, we have so much time for fun.
Walau jauh dari orangtua, lingkungan sekitar begitu “perhatian” ketika tahu saya hamil.
“Jangan makan durian dan kambing, nanti panas”. Hm, apanya yang panas? Batin saya.
“Orang hamil harus banyak makan sayur dan buah. “ Oke, bisa dimengerti.
“Makan 2 kali lebih banyak dari biasa, kan untuk berdua”. Waduh, gimana mau makan banyak, mencium bau masakan saja langsung mual.
“Jangan minum air dingin, nanti bayinya besar” O-ow, padahal saya paling enggak bisa minum tanpa air dingin.
Terus ada yang bilang “Nggak boleh berhubungan seks, takut keguguran.” Hehehe, kalau yang ini membuat suami saya manyun.
Gerah dengan nasehat-nasehat yang sulit dibedakan mana mitos mana fakta, saya mengembalikan pilihan pada diri saya, dengan merujuk pada Ayahbunda (link di sini). Yang penting saya tetap bahagia dan sehat selama kehamilan.
Akhirnya, saya dan suami menjadi orangtua dengan kelahiran Cinta. Ternyata, punya bayi itu tidak hanya membahagiakan, tapi juga merepotkan. Nah, sisi repot inilah yang dulu tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Begitu bayi saya sering menangis tengah malam, saya dan suami jadi kurang tidur dan lelah, ujung-ujungnya kami mulai saling melempar tugas.
Berusaha untuk tidak panik, sayapun kembali merujuk pada Ayahbunda. Suami juga jadi suka membaca Ayahbunda. Saat anak demam, kami memilih dokter anak yang komunikatif dan menerapkan pengobatan yang rasional, pengunaan antibiotik hanya saat diperlukan. Atau saat bayi menangis, saya coba lakukan saran Ayahbunda. Dan saat saya dan suami mulai "memanas", kami segera berdamai berbagi tugas. Alhamdulillah, hubungan suami istri tetap hangat dan kompak, walaupun sering ada interupsi dari si bayi. Ehm..
Walau tidak sempurna, saya merasa cukup “sukses” menjadi ibu. Cinta tumbuh dengan baik :
Imunisasi? Lulus, plus imunisasi anjuran.
Belajar makan dengan MPASI? Lulus, lebih sering MPASI rumahan, sesekali pabrikan atau makan di luar.
Tumbuh kembang sesuai usia? Lulus, dengan beberapa pencapaian mendekati limit waktu.
Mengajarkan perilaku sopan, mandiri dan kreatif? Hm, not bad.
Menjadi ibu yang sabar? Nah, yang ini masih terus diusahakan.
Membuat anak bahagia? Yup, we have so much time for fun.
Memang dalam perjalanannya, campur tangan lingkungan tetap ada. Saya terbuka bagi sharing yang saling menguatkan. Sementara jika ada obrolan bersifat pamer dan saling membandingkan , saya memilih diam. Saya menenangkan diri, untung saya tahu dari Ayahbunda, bahwa tumbuh kembang setiap anak itu unik, anak memiliki bakat dan kecerdasan berbeda, dikenal dengan multiple intelligence, serta yang paling penting anak merasa bahagia dan disayangi.
Kemudian saya menjalani hamil kedua. Dari Ayahbunda saya belajar menyesuaikan dengan kondisi diatas 30 tahun, dan kesiapan si sulung memiliki adik. Setelah Asa lahir (2 tahun lalu), tadinya saya pikir tinggal mengulang ilmu seperti pada masa pengasuhan Cinta. Ternyata setiap anak unik, usia dan emosi orangtua sudah tidak sama, dan ilmu terus terbarui sesuai jamannya, maka saya memilih tetap berlangganan Ayahbunda. Bukankah menjadi ibu adalah pembelajaran seumur hidup? Bersama Ayahbunda, saya terus belajar menjadi ibu yang lebih baik. Ayahbunda telah menjadi bagian dari perjalanan keluarga kecil saya.
Kemudian saya menjalani hamil kedua. Dari Ayahbunda saya belajar menyesuaikan dengan kondisi diatas 30 tahun, dan kesiapan si sulung memiliki adik. Setelah Asa lahir (2 tahun lalu), tadinya saya pikir tinggal mengulang ilmu seperti pada masa pengasuhan Cinta. Ternyata setiap anak unik, usia dan emosi orangtua sudah tidak sama, dan ilmu terus terbarui sesuai jamannya, maka saya memilih tetap berlangganan Ayahbunda. Bukankah menjadi ibu adalah pembelajaran seumur hidup? Bersama Ayahbunda, saya terus belajar menjadi ibu yang lebih baik. Ayahbunda telah menjadi bagian dari perjalanan keluarga kecil saya.
Tulisan ini
diikutkan dalam Lomba Blog “Aku dan Ayahbunda”
dan berhasil menjadi 12 Finalis pada tanggal 20 November 2012
dan berhasil menjadi 12 Finalis pada tanggal 20 November 2012
Ini link para finalisnya:
http://duniadefa.blogspot.com
http://mugniarm.blogspot.com
http://ceritarhea.wordpress.com
http://aniesdanadit.blog.com
http://metahanindita.blogspot.com
http://nurinaps.wordpress.com
http://curhatbunda-atar.blogspot.com
http://santob.multiply.com
http://galuhhapsari.tumblr.com/Abhyasa
http://rahmiaziza.blogspot.com
http://rumahasacinta.blogspot.com
http://ceritasihejo.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar