Yakin, berani menerima kritik ?
Yakin, bisa kuat dan berlapang dada ?
Jujur saja, rasanya hampir setiap hal dalam diri saya menginginkan kesempurnaan termasuk dalam hal karier. Ketika sebuah kritik terlempar pada saya, artinya ada yang tidak puas dengan kerja saya. Tentu saja hal ini melukai kesempurnaan karier saya.
Kritik hadir dalam dua rasa yang berbeda. Ada kritik yang tersampaikan dengan kalimat yang enak didengar, namun tidak sedikit kritik yang lebih mirip sebagai ungkapan kekesalan.
Kritik banyak berkonotasi negatif karena mengingatkan sesuatu yang destruktif dan seringkali terkait tentang perasaan negatif antar personal. Kritik mampu membuat seseorang sakit hati karena harga dirinya terusik, juga menyakitkan secara psikologis sehingga fungsi kritik yang sebenarnya tidak efektif.
(gambar dipinjam dari sini)
Menerima kritik bukan hal baru bagi pegawai seperti saya. Seperti sudah menjadi kewajaran bahwa pegawai adalah objek dan atasan adalah subyek dari sebuah kritik.
Sebuah contoh kritik destruktif adalah jika atasan berbicara tentang keburukan kita tanpa memberikan solusi dan saran yang jelas.
“Bagaimana anda bisa membuat kesalahan?”
“Apa yang anda pikirkan hingga terjadi sesuatu yang salah?” atau
“Saya sangat menyesal telah mempekerjakan anda.”
“Tolong diingat, kantor tidak mau tahu urusan pribadi yang menyebebkan ketidakhadiran anda!”
Mungkin sang atasan berpikir bahwa kata-kata tersebut akan memotivasi pegawai untuk bekerja lebih keras. Benarkah tujuan itu tercapai? Bisa jadi, yang terjadi justru adalah kekesalan dan kebencian yang timbul sesudahnya dan kemudian memperburuk kinerja pegawai.
Bersyukur, atasan saya tidak begitu. Saya pernah mendapatkan kritik beberapa bulan yang lalu dari atasan tentang kinerja saya. Untungnya, kritik yang disampaikan jauh lebih lembut daripada contoh-contoh kalimat diatas.
Tetapi tidak bisa saya pungkiri, sehalus apapun bentuk kritik di tempat kerja tetap terasa menyakitkan dan dapat mempengaruhi kehidupan saya dimanapun hingga waktu tertentu. Langit terasa gelap dan ruangan kian menyempit. Sebenarnya, itu adalah gambaran yang terjadi pada ruang hati saya.
Ditambah lagi omongan rekan-rekan kerja yang ikut menguping mendengar ketika saya mendapatkan kritikan. Hampir bisa dipastikan, lebih banyak rekan kerja yang bergunjing daripada memberikan dukungan saat saya terpuruk. Ehm, ini situasi yang lazim, bukan?
Berita buruknya, saya jadi mewaspadai semua orang. Saya jadi tidak mempercayai siapapun di lingkungan kantor. Siapa saja bisa menjadi penguping dan pelapor. Dan tidak bisa dipastikan bahwa setiap laporan akan sesuai dengan kenyataan. Bumbu-bumbu akan lebih banyak mempengaruhi rasa. Saya pun menjadi lebih defensive pada setiap pembicaraan. Saya sulit membedakan yang mana teman dan mana yang benar-benar teman.
Waktu demi waktu kekecewaan akan berubah menjadi perasaaan tidak sempurna, merasa gagal menjadi pegawai yang baik dan kesal pada si pemberi kritik. Lantas saya menyadari, penyakit hati ini tidak boleh saya biarkan.
Baiklah, saya telah melakukan kesalahan. Selanjutnya apa?
Memilih terpuruk atau bangkit?
Memilih mundur atau melangkah maju?
Tenangkan Hati dan Berpikir.
Sesaat setelah kritik mampu mempersempit ruang gerak, saya memilih untuk menarik napas. Melepaskan sedikit beban. Memang hanya sedikit, karena beban sesungguhnya masih ada pada diri ini. Kritik, bahkan ketika saya mencoba untuk mengabaikannya, hati ini tetap terluka. Tetapi saya memilih melanjutkan hidup dan berpegang pada apa yang saya yakini benar. Saya harus bisa mengelola kritik menjadi pelecut kesuksesan karir. Saya harus bisa memberikan umpan balik yang positif. Jangan biarkan kritik menggagalkan karir dan merenggut kebahagiaan hidup.
Saya mencoba mengingat, ada banyak persoalan orang lain yang lebih buruk dari yang saya alami. Semua orang pernah bersalah, dan banyak diantaranya yang mampu untuk bangkit. Dengan perbaikan ataupun tetap pada dirinya semula, yang penting hidup terus berjalan sesuai kemampuan. Setidaknya, inilah yang membuat jiwa saya bertahan pada titik sehat.
Ketika saya telah berhasil menenangkan hati, saya kembali ke kantor dengan perasaan yang nyaris tanpa rasa. Saya biarkan semua berjalan ke arah mana angin akan membawa. Saya memilih untuk lebih banyak diam dan menunggu. Saya lebih banyak bekerja dan mengurangi kata-kata.
Di sisi lain relung hati, saya hilangkan prasangka-prasangka dan melupakan segala pergunjingan tentang saya. Toh saya tidak mendengarnya secara utuh dan langsung. Anggap saja mereka tidak berbicara untuk saya. Saya meyakinkan diri, mereka akan baik jika mengenal saya lebih baik.
Benar saja, tidak semua orang menjadi monster. Ketika beban dan prasangka berhasil saya atasi, saya mulai bertegur sapa kembali. Kami terlibat perbincangan lebih panjang. Namun satu rambu-rambu yang saya pegang erat : tidak membicarakan keburukan seseorang ataupun menyebutkan sebuah nama yang mengarah pada pergunjingan yang akan menjadi boomerang bagi saya sendiri.
(Gambar dipinjam dari sini)
Dendam Positif = Menjadi Produktif
Entah apakah ini baik atau buruk, yang tersisa dari sebuah kritik adalah dendam untuk membuktikan. Mudah-mudahan ini dendam yang positif. Saya ingin membuktikan bahwa kritik itu tidak sepenuhnya benar, artinya saya bisa lebih baik. Setidaknya ada 2 hal positif yang bisa saya ambil, pertama saya menjadi lebih kreatif, produktif dan disiplin. Tentu ini dalam rangka pembuktian bahwa saya bisa lebih baik. Kedua, saya belajar memahami bahwa dunia tidak selalu dipenuhi oleh pujian yang indah, namun juga kritik pedas. Situasi ini kemudian mengajarkan pada saya untuk bisa mengelola hati dan berlapang dada.
Membangun kepercayaan memang tidak mudah. Namun jika saya terus konsisten dengan niat baik dalam 3 bulan usaha ini akan terlihat. Dan selanjutnya tergantung bagaimana saya konsisten menjaganya. Sekarang saya merasa sangat baik saat bekerja dan senang pada lingkungan kantor. Apapun kata mereka, apapun pikiran mereka, saya tidak perlu terlalu ambil pusing.
It’s better to move on, right ?
Saya meyakini, bahwa kunci kesuksesan seseorang adalah dengan berani menerima kenyataan bahwa usaha mereka pernah gagal. Banyak cerita tentang kesuksesan yang diawali oleh kegagalan berulang. Calon orang sukses tahu bahwa dirinya mendapatkan manfaat dari kritik yang mereka terima dalam lingkup kerja.
(gambar dipinjam dari sini)
Setuju Mbak, meskipun kadang pahit dan menyakitkan tapi bisa jadi cermin dari Tuhan untuk kita menjadi lebih baik.
BalasHapusaku kadang pundungan kalo dikritik, gimana ya.. pengen dikritik tapi suka baper -______-
BalasHapus