Semua ada masanya. Masa kejayaannya, dan masa berakhirnya. Inilah yang saya rasakan ketika menerima edisi terbaru Majalah Parenting. Satu-satunya majalah yang bertahan saya jadikan langganan hingga saat ini, saking saya sangat menyukai majalah Parenting dan banyak mengadopsi gaya pengasuhan seperti yang tertulis di sana.
Sudah beberapa kali edisi belakangan, majalah ini terasa lebih tipis dari sebelumnya, dan kualitas cetaknya juga menurun. Dulu tebalnya sekitar 140 halaman (dan banyak iklan) sekarang direduksi menjadi sekitar 90 halaman, sedikit iklan dan kertas lebih tipis. Sementara harganya sama, saat ini Rp. 40.000. Oiya, edisi Oktober 2017 baru saya terima pada Januari 2018. Saya memaklumi itu. Sudah banyak beritanya di internet. Memang sudah masanya, media cetak tergerus oleh media digital.
Saya telusuri lembar redaksi. Sekarang tidak ada lagi pengantar redaksi yang biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi, digantikan dengan Mom's Note yang ditulis oleh "Tim Parenting" . Rupanya, memang tidak ada lagi pemimpin redaksi. Deretan teratas di lembar redaksi adalah penanggung jawab editorial. Saya kurang tahu apakah sama atau beda.
Parenting masih bertahan bersama Femina Group lainnya, majalah Femina, Ayahbunda, Pesona, Gadis, MensHealth dll. Sedangkan dari grup Cosmopolitan masih ada majalah Mother & Baby, HerWorld, Bazaar dll. Tabloid Nova dan Nakita apa kabar? Kartini apa kabar? Wah, sepertinya saya harus mampir ke pojok majalah lagi untuk tahu updatenya.
Sejenak kita flash back masa kejayaan media cetak ini. Saya termasuk yang sangat menikmati masa-masa itu, terutama bidang family dan parenting.
2007, adalah tahun pertama saya memulai mengirimkan tips-tips pendek ke Majalah Ayahbunda, Tabloid Nakita. Merasakan cerita dan foto terpampang di sana itu rasanya bukan main. Seru, senang. Saya anggap sebagai karya sekaligus kenangan masa bayi anak pertama, Cinta. Dan dari situlah saya mulai memikirkan bagaimana mendokumentasikan semua tentang saya dan keluarga yang terpampang di media cetak. Saya mengambil dua langkah, pertama dokumentasi fisik, yaitu membeli dobel edisi cetaknya lalu mengkliping (anak-anak sekarang apa masih kenal kliping?). Kedua, saya memotret dan mengunggahnya di blog, sehingga lahirlah blog AsaCinta ini di tahun 2008. (Asa baru lahir tahun 2010 namun namanya telah saya pilih sejak hamil anak pertama).
2008, saya mulai tertarik untuk mengirimkan artikel ke majalah. Artikel pertama karangan saya dimuat di Majalah Ayahbunda, edisi oktober 2008, judulnya Tanpa Racun, membahas tentang penggunaan pestisida pada pangan segar. Sayangnya, nama saya tidak ditulis sebagai penulis, hanya sebagai narsum. Padahal 90% tulisan yang terpampang dari saya. Redaksi Ayahbunda hanya mengeditnya dan "menulis ulang" sehingga merasa akhirnya bisa meletakkan nama lain di sana. Kecewa, pakai banget. Sebagai penulis pemula, saya tidak ingin memperpanjang soal ini. Dan tetap bangga bisa berkontribusi.
2009-2012 adalah masa paling aktif saya menembus media cetak. Semua saya coba tembus. Dari opini koran, testimoni singkat, artikel cerita, resensi buku, surat pembaca, kuis dan foto. Pokoknya apa saja peluang yang diberikan kepada pembaca atau penulis lepas untuk bisa masuk ke media cetak.
Tahun 2012 ini juga saya diminta teh Indari Mastuti untuk mengisi kelas online "menembus media" disebuah grup menulis Ibu-ibu Doyan Nulis. (I miss them...disitu saya banyak berkenalan dengan teman-teman online yang baik hingga saat ini). Sambil terus menyemangati ibu-ibu lainnya untuk menembus media cetak, saya sendiri juga masih terobsesi dan merasa media cetak itu keren. Banyak tulisan saya simpan di komputer. Saya sayang-sayang untuk tidak bocor idenya keluar hingga sebuah tulisan bisa diadopsi oleh salah satu media, kelak.
Note : Dulu, saya menyimpan sebuah tulisan, menggodok idenya, nggak boleh bocor dan mengirimkan ke media. Sekarang, ide terbaru dan terunik justru harus segera dipublish ke blog untuk mendapatkan pembaca lebih banyak dan nggak keduluan yang lain. See? itu beda masa media cetak dan masa media online bagi saya sebagai penulis lepas (non berita).
Menembus media cetak itu gampang-gampang susah. Sebagian merasa gampang, lantas bangga. Iyalah, saya akui itu. Sebagian yang gagal terus frustasi. Ini hampir sama dengan lomba-lomba blog yang sekarang marak, saya juga pernah eksis di dalamnya hehehe. Ini serupa juga dengan event-event atau job menulis di blog yang saat ini bertebaran, ada yang eksis ada yang tersisih. Begitulah hidup.
Saya yakin, redaksi media cetak juga kewalahan menyeleksi kiriman penulis lepas. Ruang untuk penulis lepas tidak banyak, tetapi yang kirim dan pengen karyanya dimuat sangat banyak. Soalnya apa? Prestis gitu lho bisa dimuat di media cetak. Merasa terseleksi diantara ratusan tulisan, atau ribuan? Banyak deh, saya yakin.
Saking banyaknya peminat, hingga ada redaksi yang mengirimkan jawaban kurang mengenakkan. Tapi kalau ada jawaban, selamat, tulisan anda akan dimuat pada edisi sekian, dijamin penulisnya udah bakal pamer di medsos tentang keberhasilannya itu dan mengumumkan ke teman-temannya untuk siap-siap beli, padahal baru dimuat sebulan ke depan haahaha.. Euforianya luar biasa.
Sekarang? Tulisan yang banyak di komputer sepertinya akan saya rilis satu persatu, karena tidak lagi berharap pada media cetak. Untungnya tulisan saya bukan hot news yang harus segera tersaji, tulisan awet yang bisa dibaca besok-besok kalau saya lagi mood memuatnya di blog. Hehehe..
Pada masa itu juga, saya langganan banyak sekali majalah parenting : Ayahbunda, Mother and Baby, Nakita, Parents Guide, Parenting dan Parents. Nggak hanya itu, saya juga rajin ke tukang koran untuk intip-intip koran dan majalah. Nggak semua saya beli, tapi nggak pengen ketinggalan tau. Semuaaa dicegat tiap rilis karena harap-harap cemas tulisan saya bakal ada enggak ya di edisi terbaru?
Tulisan terakhir saya di media cetak adalah tahun 2015.
Tulisan terakhir saya di media cetak adalah tahun 2015.
Joint Agency, foto dr Gmap |
Kini setiap kali lewat kios besar langganan saya (namanya Joint Agency, di jalan Sancang Bogor), hati saya miris. Kios itu sekarang sepi. Hanya ada buku-buku TTS dan novel yang kurang populer. Serta beberapa majalan dan koran yang bertahan.
Dulu agenda setiap minggu keluarga saya selalu ke situ, saya scanning berbagai majalah parenting dan wanita, anak-anak suka majalah Bobo, Mombi, Disney. Suami saya suka majalah Seluler, Commando, aneka koran dan tabloid Pulsa / Sinyal. Lantas kami punya pilihan masing-masing dan membelinya. Seminggu bisa menghabiskan budget 150 ribu untuk majalah, kalikan 4 saja untuk tahu budget per bulannya. Cukup besar budget untuk majalah. Begitulah, kami anggap media cetak adalah hiburan, nutrisi otak yang harus dipenuhi dan enggak merasa rugi membelinya.
Dari semua majalah yang pernah saya langganan, saat ini bertahan hanya satu majalah, yaitu majalah Parenting. Entah sampai kapan saya langganan. Sudah mulai jarang dibaca. Anak-anak saya sudah besar. Ilmu parenting sudah banyak dipahami. Tapi saya masih berat melepaskan media cetak. Serasa ada yang tercerabut dari hati. Media cetak yang saya pernah sangat mencintai.
Saya yakin, terkikisnya media cetak tidak menghilangkan semangat individu yang dulu di dalamnya untuk tetap menulis dan menyajikan artikel / berita. Media cetak adalah media. Selama sumber daya manusianya masih bisa mengikuti tuntutan jaman, passion menulis akan tetap berjaya. Media online yang lahir dari pendahulunya, media cetak, sekarang bertumbuhan. Sebagian media cetak telah beralih ke aplikasi smartphone atau website. Jiwa "mereka" tidak hilang. Masih ada kok.
Selintas saya teringat kata pemimpin redaksi Femina, Petty S Fatimah beberapa tahun silam (edisi 2 Juni 2015) yang menyoroti tentang fenomena merebaknya blogger. Hm, sempat baper juga sih waktu itu. Tapi ya, waktu akhirnya berbicara.
Selintas saya teringat kata pemimpin redaksi Femina, Petty S Fatimah beberapa tahun silam (edisi 2 Juni 2015) yang menyoroti tentang fenomena merebaknya blogger. Hm, sempat baper juga sih waktu itu. Tapi ya, waktu akhirnya berbicara.
Media cetak hampir berlalu, Blog bagaimana? Jangan pernah sombong. Hanya Allah yang Maha Tahu.
Dear Media Cetak,
Saya pernah mengagumimu, mencintaimu, baper padamu, menunggumu, berharap.
Entah perasaanmu padaku. Cuma mau bilang, "Mohon, maaf lahir batin'
Statement Petty S Fatimah, foto dr FB Ani Berta |
Aku juga kangen masa-masa menunggu majalah langganan datang diantar kurirnya. Nunggunya berasa bertahun-tahun, begitu datang gak sampai tiga jam udah semua habis dibaca, terus baper lagi nunggu majalah baru rasa bertahun-tahun lagi 😁
BalasHapusEra digital terus menggilas tanpa bisa dihentikan ya mba. Akan rindu saat-saat santai sore baca majalah parenting sambil ngeteh :)
BalasHapusBikinbaper ya...mejeng di media cetak beda rasanya sm d blog hahaha *lha iyalah*
BalasHapusSaya juga termasuk pecinta majalah & tabloid mulai SD, banyak banget skarang tumpukan majalah bobo sama aneka yg ujung2nya jadi penghuni lemari doang dan makanan rayap.Hikss. Walopun sedih ngliat majalah2 langganan mulai bertumbangan, tapi emang lbh nyaman versi digital sih. Lebih simpel dan minimalis
BalasHapusAku adalah salah seorang yang pernah menerima hibahan banyak majalah dari Mbak Arin.
BalasHapusKabarnga femina mau bangkrut mbak
BalasHapusYa memang nggak bisa dipungkiri sih modernisasi menggerus media cetak... Banyak banget media cetak yg udah 'kukut'. Sedih sih tapi ya namanya persaingan harus
siap kita ��
Aku waktu SMP SMA sering banget ke Joint Agency ini. Tinggal jalan karena deket rumah hehehe. Waktu itu memang majalah lagi in banget. Inget ngumpulin majalah GoGirl tapi masih nggak pede buat ngirim tulisan atau cerpen. Mbak keren banget bisa nembus sana sini hehe.
BalasHapustahun ini maunya sih menembus media cetak lewat tulisan yg lebih "berbobot", tapi semangatnya belum muncul juga
BalasHapustelat amat ya baru mau menembus dunia cetak, dunia cetaknya aja udah pindah ke dunia lain :))
Ya ampun, terakhir kali beli majalah kapan ya ^^
BalasHapusWah iya kios yang jalan Sancang ya mba. Dulu sering banget mampir pagi2 buta cuma buat beli majalah trus meliat orang2 loper koran yang membagi2 koran utk kemudian (paling banyak) di stasiun Bogor jual koran. Di depan OPMC nya Telkom (Seberang MB IPB juga subuh2 dulu banyak bagi2 loper2 koran).. Di stasiun, Bapak2 beli koran kemudian baca sebentar trus tidur di KRL.. saya jg sering waktu kul. Beda ya skrng. Semoga loper2 koran itu mendapat pekerjaan layak dan halal lain.. amin..
BalasHapusAku lebih suka cetak sebenernya. Klo lg santai mata jd ga terus2n liat hape.
BalasHapusBaca ini jadi inget rubrik oh mama oh papa, udah lama banget ngga baca lagi hehehe ...
BalasHapusMedia cetak, sumber informasi tanpa bayang-bayang radiasi. Hmmm.
BalasHapusiya nih, sekarang semua sudah digital
BalasHapusHingga kini masih ada media cetak yang bertahan dengan dana kempang kempis. Tapi masih ada yang eksis dan meraup banyak keuntungan di bandingkan media televisi. Tapi sayangnya, lebih banyak yang berguguran.
BalasHapusPergantian era adalah keniscayaan. Namun, substansi era media cetak tidak harus tergusur sepenuhnya oleh media online. Hanya segelintir media cetak yang masih eksis, seiring dengan itu ia bertransformasi pada media online. Majalah TEMPO sebagai contoh. Masih mengunjungi pembaca yang rindu edisi cetak, tapi sekaligus menyesuaikan era digital online. Ada desiran kebanggaan tersendiri ketika beberapa tulisan saya dimuat pada ruang "Kolom Bahasa" majalah TEMPO tersebut.
BalasHapus