Era digital saya kenal bersamaan dengan mula saya menjadi ibu. Sejak itu pula pendidikan anak berjalan. Dari anak usia dalam buaian, hingga kini menginjak masa pra remaja. Dengan kata lain, pendidikan era kekinian banyak dipengaruhi oleh era digital.
Sebagai ibu bekerja, tantangan mendidik anak terasa lebih berat karena harus membagi fokus dengan pekerjaan. Namun demikian, rasanya tidak rela jika dikatakan anak-anak dari ibu bekerja kurang terurus dan kurang berprestasi. Bagaimanapun, kualitas pendidikan anak tergantung dari sejauh mana keterlibatan ibu.
Tantangan Pendidikan di Era Kekinian.
Pendidikan pada era kekinian tidak sepenuhnya memisahkan pendidikan formal dan non formal. Saat ini telah disadari bahwa pendidikan seutuhnya mencakup pendidikan formal, informal, akhlak dan multi talenta. Karena itu, dari titik mana keberhasilan pendidikan akan dicapai, sangat tergantung pada pilihan individu dan keluarga.
Tantangan pendidikan era kekinian semakin beragam. Pertama adalah perkembangan teknologi informasi dan digital yang sangat pesat menjadi sesuatu yang berguna sekaligus tantangan bagi kita semua. Kedua, adanya berbagai pola didik berbeda yang diterapkan di sekolah-sekolah (terutama swasta) yang mendampingi kurikulum resmi dari Kemdikbud sebagai acuan. Bahkan kurikulum Kemdikbud sendiri terus mengalami perkembangan. Hal ini menjadikan siswa, guru dan orangtua harus beradaptasi.
Anak tidak bisa kita jauhkan begitu saja dari perkembangan teknologi informasi dan digital. Bagaimanapun, dunia digital ini adalah dunia mereka yang mana telah dikenal sejak lahir. Kita hidup di jaman digital, bagaimana bisa melarang anak main gadget? Orangtua bekerja dengan gadget, bagaimana bisa melarang anak untuk tidak menggunakan gadget? Be realistis.
Penggunaan gadget ibarat dua mata pisau, bisa bermanfaat, namun juga bisa membahayakan. Kuncinya adalah melatih anak untuk bisa mengendalikan diri. Dalam hal ini anak harus dibiasakan dengan jadwal penggunaan gadget dan dipilihkan program-program yang berguna dan aman untuk anak.
Di usia balita, gaya belajar anak akan berkembang dan ketiganya digunakan bersama-sama. Di usia sekolah, salah satu gaya belajar anak akan lebih menonjol atau dominan. Kita tak perlu menunggu hingga anak masuk usia sekolah untuk mengenali gaya belajarnya. Semakin cepat memahami anak semakin baik.
Ditambah lagi kesibukan anak-anak jaman sekarang sudah jauh berbeda dengan masa saya kecil dulu. Jam sekolah yang lebih lama, jalanan macet menyebabkan anak berangkat lebih awal dan pulang lebih cepat, sehingga sampai rumah anak sudah kelelahan. Mana bisa belajar lagi? Tentu inginnya bersantai dan bermain.
Jika pilihan anak adalah bermain game, tidak 100 persen harus dilarang. Game membuat anak refreshing sambil melatih ketangkasan dan menstimulasi kecerdasan. Asalkan dilakukan dalam waktu yang wajar sehingga tidak membuat ketagihan.
Saat ini, media pendidikan telah beragam. Multimedia (e book, digital image , media audio dan visual) perlahan namun pasti menggantikan papan tulis dan buku cetak. Anak lebih mahir menggunakan gadget dan komputer daripada menulis dengan pensil.
Istilah gadget, mengacu pada smartphone. Padahal secara luas gadget mengacu pada berbagai perangkat elektronik termasuk kamera, tablet, komputer, printer, scanner dan lain sebagainya. Secara bertahap, anak akan belajar menggunakan peralatan tersebut satu persatu.
Istilah gadget, mengacu pada smartphone. Padahal secara luas gadget mengacu pada berbagai perangkat elektronik termasuk kamera, tablet, komputer, printer, scanner dan lain sebagainya. Secara bertahap, anak akan belajar menggunakan peralatan tersebut satu persatu.
Setiap anak sebenarnya mempunyai sifat natural ingin tahu dan belajar akan sesuatu. Tapi seringkali orang dewasa "memaksa" anak-anak untuk belajar mengikuti cara orang dewasa. Membaca buku pelajaran, menghapal, menulis dengan rapi, duduk manis dengan kursi dan meja, serta target belajar sekian jam dalam sehari.
Mari renungkan, kenapa anak-anak lebih mudah menghapal lagu daripada menghapal pelajaran sekolah? Ya, karena menyanyikan lagu lebih mudah dipahami, menyenangkan dan rileks dibandingkan mengingat materi pelajaran. Nah, kunci belajar efektif adalah menyenangkan. Karena itu, hadirnya multimedia diharapkan dapat menjadi media belajar yang membantu anak memahami pelajaran dengan lebih baik.
Karakter Anak Masa Kini, Sudahkan Ibu Memahaminya?
Karakter belajar setiap anak berbeda satu sama lain. Memahami karakter belajar anak adalah bekal kita mendorong agar belajar anak lebih efektif. Setiap anak punya kekuatan dan kelemahannya, serta cara yang efektif bagaimana sebuah informasi bisa diproses dan diterima. Karena itu, hindari tekanan dan konflik saat anak belajar.
Karakteristik belajar anak ada yang visual , auditif dan kinestetik (banyak bergerak).
Karakteristik belajar visual tandanya anak suka membaca, mengingat dengan cara melihat kertas, lebih senang melihat daripada berbicara, dan suka mencoret kertas.
Karakteristik belajar auditif ditandai dengan kebiasaan berbicara sendiri atau kepada orang di sekitarnya, mudah mengingat nama, mengenali variasi suara orang, mudah memahami konsep dengan cara berbicara dan mendengar, menikmati musik, dan bersenandung.
Karakteristik belajar kinestetik ditandai dengan suka bergerak, suka menyentuh lawan bicara, mengetuk-ngetuk kaki, tidak suka membaca, senang mencoba hal-hal baru, aktif, dan tak suka duduk lama-lama.
Karakter anak era kekinian yang paling menonjol adalah semakin kritis. Informasi mengalir sangat deras pada otak mereka dari berbagai sumber. Semakin banyak informasi diterima, semakin banyak memunculkan pertanyaan. Tak heran anak-anak sekarang semakin kritis. Sebagai orangtua, bisakah kita memberikan jawaban yang memuaskan tanya mereka? Tantangan orangtua adalah harus lebih banyak membaca informasi dari sumber terpercaya dan ikut mempelajari apa yang tengah dipelajari anak.
Sayangnya, anak-anak sekarang sering malas bergerak. Ini adalah salah satu dampak kurang baik dari kegemaran bergadget. Jarinya lincah, tapi badannya diam. Akibatnya, banyak anak menderita obesitas. Ini adalah tantangan orangtua untuk lebih banyak mengajak anak bergerak.
Dampak lainnya, anak lebih banyak terpengaruh dari berbagai pihak. Sumber informasi berkeliaran di media digital. Di sini orangtua harus jeli memilihkan sumber informasi yang aman dan terpercaya buat anak baik dalam bentuk game, browsing maupun tontonan. Dan agar anak tidak bingung, orangtua harus bisa menjadi sumber informasi yang utama dan terpercaya.
Saat ambil raport dan konsultasi dengan guru. |
Ibu Bekerja, Jangan “Kurang Gaul” di Sekolah.
Bagi ibu bekerja, kehadiran teknologi digital melalui smartphone justru sangat memudahkan urusan pendidikan anak. Seharusnya demikian, jika hambatan-hambatan seperti gagap teknologi dan minimnya kuota bisa diatasi. Selayaknya Ibu Bekerja menjadi digital parent yang handal
Kesibukan ibu bekerja seringkali membuatnya ‘kurang gaul’ di sekolah. Untuk itu keterlibatan Ibu bekerja dalam urusan pendidikan anak harus diimbangi dengan kepiawaian mencari informasi dan menjalin jaringan dengan pihak sekolah maupun komite (Forum Guru & Orangtua). Media pertemuan banyak difasilitasi dalam Grup Messenger seperti WhatApps Group, Facebook Messenger dan lain sebagainya. Tak ada alasan lagi untuk ketinggalan informasi.
Selain melalui komite, ibu juga harus aktif mencari informasi melalui internet atas segala program pendidikan yang diterapkan di sekolah. Baik itu kurikulum, buku ajar, buku penunjang, bahan-bahan prakarya, pengetahuan umum dan lain sebagainya.
Ibu bekerja juga harus aktif bertanya pada guru secara personal tentang kemajuan belajar anak. Seringkali, guru baru akan menginformasikan hanya apabila ditanya. Harap maklum, guru sangat banyak yang harus diurusinya.
Dan yang paling penting, Ibu harus bisa aktif bertanya pada anak. Jangan bawa pulang pekerjaan. Lebih baik prioritaskan waktu sore hari untuk mendengarkan cerita anak. Tentu saja dengan cara mengobrol santai sehingga anak dengan mudah mengingat dan menceritakan kembali apa saja yang diterimanya di sekolah pada hari itu.
Minimal sekali dalam satu semester, biasanya pada pertemuan sekolah, sesibuk apapun, ibu bekerja hendaknya menyempatkan untuk hadir di sekolah. Bersilaturahmi dengan guru dan orangtua murid juga penting lho! Perlu diingat, bahwa pendidikan anak sama pentingnya dengan tugas kantor.
Seperti yang tertulis pada website Sahabat Keluarga, bahwa kunci dari kemitraan sekolah dan orang tua adalah 3R, yakni Respect atau rasa hormat, Responsibility atau tanggung jawab, dan Relationship atau hubungan.
- Respect atau Rasa hormat, artinya adalah sekolah menghormati dan mempercayai peran penting orangtua dalam memberikan wawasan dan informasi tentang apa yang dibutuhkan anak. Orang tua adalah mitra bagi sekolah dalam proses pengambilan keputusan sehingga sekolah perlu mengembangkan kebijakan pintu terbuka. Inti dari rasa hormat ini, baik sekolah maupun orang tua benar-benar menginginkan yang terbaik untuk anak.
- Responsibility atau Tanggungjawab artinya sekolah maupun orang tuanya tidak saling menyalahkan apabila ada masalah dengan si anak dan juga sekolah. Sebaliknya, keduanya harus bertanggung jawab atas keberhasilan sekolah. urutan kurikulum dan tentang tanggung jawab pekerjaan rumah.
- Relationship atau Hubungan, artinya dengan rasa hormat dan tanggung jawab, sekolah dan orangtua membuka pintu untuk apa yang disebut hubungan yang bermakna, atau hubungan yang membangun kepercayaan yang mendukung kemitraan berkualitas. Hubungan memelihara kemitraan yang sangat diperlukan untuk kemitraan untuk bertahan hidup dan untuk membantu anak-anak berhasil di sekolah.
Menguasai Gadget = Mengendalikannya!
Ponsel boleh pintar dan mahal, namun jika fitur yang digunakan orangtua hanya sebatas sosial media, chating dan menelpon saja tentu sangat disayangkan. Sementara itu, anak-anak sangat mudah belajar mengenali fitur-fitur gadget. Jika orang tua ingin bisa masuk ke dengan mudah berkomunkasi dengan anak, tentunya harus mengerti bahan yang mau dibicarakan. Mobile internet adalah permainan dan hiburan bagi anak. Mengenal seluk beluk digital akan memudahkan orangtua berbaur dengan aktivitas anak
Namun ingat, menguasai gadget bukan berarti terus-menerus menggunakannya. Justru harus bisa mengendalikannya. Artinya, mengendalikan diri dalam hal penggunaannya.
Saat ini terdapat kecenderungan anak-anak melihat orangtuanya memegang ponsel saat menemaninya belajar, menyetir mobil, atau makan malam bersama. Ada juga anak-anak yang mengeluhkan orangtuanya yang selalu memandang layar ponsel saat menyuapkan sendok makanan ke mulutnya. Atau saat menidurkan mereka, orangtua membacakan buku cerita di tangan kanan sementara tangan kiri memegang ponsel dan mata melirik kanan kiri bergantian. Anak kemudian akan protes saat orangtua terdengar mulai ngelantur alur ceritanya. Tanpa disadari, orangtua seperti gambaran di atas mencontohkan situasi dimana tingkat perhatian dan kepedulian pada orang-orang di sekitarnya menurun.
Tidak mengherankan jika fenomena ini kemudian menjadikan anak-anak lebih mahir main game daripada memasang kancing bajunya sendiri. Anak-anak juga lebih lambat menjawab ketika dipanggil. Anak mencontoh hobi orangtua bergadget ria. Dampak buruknya, anak berkurang kemampuan kognisi dan motoriknya.
Tentunya saya tidak ingin menuai dampak negatif mobile internet ini. Agar anak tetap terhubung dengan sekitarnya, saya mengingatkan diri sendiri pentingnya eye contact, bukan i-contact. Orangtua harus membuat dan mempertahankan hubungan emosional dengan anak tanpa gangguan gadget.
Seperti halnya pembatasan menonton TV bagi anak, demikian juga pembatasan penggunaan gadget. Penambahan jumlah gadget tidak berarti penambahan masa penggunaan setiap harinya. Masalahnya, apakah bisa menerapkan aturan ini sementara jam penggunaan internet mobile oleh orangtua jelas jauh diatas batas waktu yang ditentukan? Jawabnya: bisa.
Caranya, orangtua bermobile-internet disaat tidak bersama anak. Gunakan waktu bersama anak untuk berinteraksi. Cara kedua, beri pengertian pada anak bahwa orangtua berinternet untuk bekerja dan keperluan penting lainnya. Jelaskan bahwa banyak urusan orang dewasa yang harus diselesaikan dengan internet.
Fitur parental control dapat membantu, tapi tidak menggantikan peran orangtua.
Program mobile internet seperti google chrome dan opera mini telah dilengkapi dengan filter untuk konten porno. Saya mengaturnya pada ponsel saya dan ponsel anak. Kadangkala anak tidak berniat mencari konten negatif, namun secara tidak sengaja me-recall history sebelumnya. Pada Android, bisa diatur restriction atau pelarangan penggunaan aplikasi tertentu sesuai tingkat kedewasaannya.
Maka dari itu, kontrol paling baik adalah dari orangtua langsung. Orangtua bisa menyaring hal-hal mana yang boleh diketahui anak sesuai usianya. Saya memilih memberikan pengertian-pengertian tentang nilai-nilai yang baik dan buruk pada anak sehingga sekalipun parental control hanya berfungsi sebatas alat, anak sudah punya bekal dari orangtuanya.
***
Telah terjadi pergeseran dari jaman analog ke digital, begitupun dengan dunia pendidikan. Kemajuan teknologi bukan untuk ditakuti, namun untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama bagi mereka generasi digital. Sebagai orangtua, saya harus berlari mengejar kemajuan jaman. Satu kunci penting yang saya pegang agar bisa mendidik anak dengan baik adalah dengan perhatian dan kasih sayang. Biarpun klise, namun nyatanya memang pelukan orang-orang terdekat dalam keluarga mampu menjaga dan mengarahkan pendidikan anak.
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog Pendidikan Keluarga #SahabatKeluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
melek teknologi bukan berarti harus kecanduan ya mba? bagaimana kita sebagai org tua harus bisa mengawasi anak dlm penggunaan gadget
BalasHapusSelalu suka kalau Mbak Arin sudah nulis parenting gini. Betul mbak..ibu bekerja bukan berarti tidak gaul di sekolah yaa..
BalasHapusWah, sukses ya buat lomba blognya...
BalasHapusMemang sekarang ini semua serba didigitalisasi ya mom. Kalau anak nggak dikenalkan sama sekali dengan kedigitalan juga nggak bagus. Sedangkan kalau berlebihan bisa menyebabkan kecanduan. Jadi orangtua harus pintar memanage interaksi anak dengan akses digital.
Aku setuju banget nih apa yg disampaikan mbak Arin, jangankan ibu bekerja mbak, aku pun saking ribetnya ngurus sumur, kasur, dapur kadang anak-anak masih kurang juga waktunya dgnku, ujungnya jadi suka ngomel deh hehe
BalasHapusBener banget, teknologi bukan untuk ditakuti, tapi untuk dimanfaatkan, dan sebijaknya kita jadi ibu jangan gaptek ya :)
BalasHapusAku termasuk mamak "kurang gaul" di sekolah hihihi
BalasHapusIni yang lagi aku usahakan mba...
BalasHapusMemberikan waktu bagi mereka untuk menikmati kecanggihan teknologi, tapi tetap dibatasi..